Lembar Dakwah LABBAIK

Wednesday, September 27, 2006

Umat Islam Bersatulah

"Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. ar-Ra’du [13] : 11)

Keruntuhan Turki Utsmani dan penghapusan sistem khilafah oleh Kemal Attaturk, pada tahun 1924. Sudah 82 tahun ummat Islam tidak mempunyai sistem pemerintahan secara universal. Perpecahan dalam tubuh ummat Islam masih saja terjadi, saling tuduh, saling hujat, tidak ada persatuan. Masing-masing memikirkan dirinya sendiri, golongannya sendiri. Peristiwa dekat ini, penyerbuan terhadap salah satu negeri muslim (Palestina dan Libanon), sebagian ummat Islam masih melihat penduduk negerinya dari golongan mana, imamnya siapa. Pernyataan seperti itu sering kali terdengar oleh telinga kita.

Pernyataan yang hanya melihat pada salah satu golongan/jama’ah-nya saja adalah pandangan yang sempit. Lebih lagi ketika hanya membenarkan jama’ahnya dan menyalahkan yang lain. Esensi dalam hidup berjama’ah adalah agar kita mampu meningkatkan segala potensi yang ada dalam diri kita serta agar kita senantiasa terjaga kondisi keimanan kita. Kehidupan ber-jama’ah kita jadikan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas diri.

Kemerosotan peranan politik Islam tidaklah menyebabkan hilangnya sistem ajaran Islam sebagai ajaran yang universal, ajaran yang sesuai dengan fitrah manusia. Sebagai sistem ajaran, Islamlah satu-satunya alternatif bagi manusia yang ingin selamat dunia dan akhirat.

Jama’atul Muslimin mempunyai kedudukan yang mulia dan luhur dalam syariat Islam. Ia merupakan ikatan yang kokoh, yang apabila hancur maka akan berpengaruh terhadap sendi-sendi kehidupan Islam. Tidak diaplikasikannya hukum-hukum Islam, meredupnya syiar Islam, dan terjadinya perpecahan ummat yang terombang-ambing bagai buih dilautan.

Musuh-musuh Islam akan senantiasa dengan mudah memperdaya ummat Islam, mereka tidak akan membiarkan begitu saja ketika Islam mulai bangkit kembali. Kebangkitan Islam membutuhkan kekuatan yang sangat besar dari ummat Islam. Tapi yang terjadi pada saat ini, sangat sedikit sekali yang memahami akan pentingnya kesatuan ummat, mereka disibukkan dengan rutinitas duniawi, disibukkan dengan memperdalam ilmu tanpa ada aplikasi, disibukkan dengan kepentingannya masing-masing.

Kehidupan berjama’ah diperintahkan oleh Allah Ta’ala. Kehidupan berjama’ah harus senantiasa dijaga, dipelihara kesatuannya, dilindungi keutuhannya, dan dicegah dari setiap ancaman serta rongrongan yang akan merusaknya. Allah Ta’ala berfirman : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. ali-‘Imran [3]: 103)

Unsur Kesatuan Ummat Islam
Unsur kesatuan ummat islam yang terpenting antara lain :
1. Kesatuan Aqidah
Keistimewaan ummat Islam terletak pada aqidah mereka yang bersih tentang Allah Ta’ala. Dia-lah Yang Maha Esa, Maha Tunggal, Tempat bergantung segala sesuatu, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tiada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia.
2. Kesatuan Ibadah
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyaat [51] : 56) ummat Islam melakukan bentuk ibadah yang sama. Bersatu dalam menunaikan ibadah tanpa membedakan jenis dan warna kulit. Setiap muslim diwajibkan shalat lima waktu sehari semalam, shaum di bulan Ramadhan, zakat apabila telah cukup nishab, dan kewajiban-kewajiban yang lain.
3. Kesatuan Adat dan Perilaku
Setiap muslim memunyai keteladanan yang baik dari diri Rasulullah SAW. Hal ini menumbuhkan kesatuan perilaku dan akhlak, karena ummat Islam dituntut untuk meneladani Rasulullah SAW. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. al-Ahzab [33] : 21)
4. Kesatuan Sejarah
Kita masih mengenal perang badar yang hanya dengan pasukan sedikit mampu mengalahkan pasukan yang banyak. Kita mengenal perang khandak strategi jitu untuk menghadapi kafir Quraisy hingga mundur dengan penuh kekecewaan. Kita mengenal berbagai sejarah tentang kejayaan Islam, kemakmuran akan pemimpinnya, dan masih banyak lagi. Dengan kita mengingat sejah itu bahwa kesatuan ummat Islam mampu menciptakan kehidupan yang begitu indah.
5. Kesatuan Bahasa
Merupakan suatu yang alami jika bahasa arab menjadi salah satu faktor pemersatu ummat Islam. Undang undang ummat Islam yaitu al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab, maka untuk memahami dan mengamalkannya haruslah mempelajarinya. Shalat yang kita lakukan juga menggunakan bahasa arab, tidak boleh dengan menggunakan bahasa lain. Bahasa arab ini menjadi simbol pemersatu ummat Islam.
6. Kesatuan Jalan
Sesungguhnya jalan ummat Islam adalah satu, yaitu jalan para nabi dan rasul. “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. al-Fatihah [1] : 6-7)
Seorang muslim dituntut untuk senantiasa teguh dan konsisten di jalan-Nya. Apabila terjadi penyimpangan maka akan mendapatkan celaka.
7. Kesatuan Dustur (Undang-undang)
Sumber undang-undang ummat Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Kedua undang-undang ini adalah rujukan dalam melakukan setiap tindakan, apabila tidak menggunakannya maka terjadi penyimpangan.
8. Kesatuan Pimpinan
Dengan mengangkat seorang imam untuk mengurusi persoalan ummat, maka ummat Islam akan mencapai kesatuan, kekuatan, dan kekokohan bangunannya. Dengan faktor tersebut nempak persatuan ummat Islam merupakan kekuatan yang dahsyat. Pimpinan (Qiyadah) merupakan simbol pimpinan, kekuatan kekuatan Islam, dan kesatuan panjinya.

Realita ummat Islam dewasa ini sangat jauh dari hakikat keimanannya kepada Allah Ta’ala. Ini dalam bidang aqidah, sementara dalam bidang ibadah pun demikian pula halnya. Ummat Islam masih jauh dari hakikat Islam yang tercermin dalam shalat, zakat, puasa dan hajinya. Sama halnya dalam bidang syari’ah dan perundang-undangan, ummat ini masih sangat jauh dari hukum-hukum Islam dan ajaran-ajarannya.

Karena itu, Jama’atul Muslimin harus menjadikan tujuannya yang utama mengembalikan ummat Islam – baik secara individu, keluarga, maupun masyarakat – kepada hakikat Islam yang hanif (lurus). Baru sesudah itu kepada kepada semua manusia, menawarkan Islam kepada mereka dan untuk masuk Islam secara kaffah.

Rasulullah SAW menyadari bahwa tugas yang diamanahkan kepadanya – menyampaikan risalah Islam – tidak mungkin dapat dilakukan oleh satu orang saja, tetapi memerlukan suatu jama’ah yang kuat, yang dengan jama’ah itu tempat mengatur strategi serta beramal jama’i.
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.”
(QS. al-Muzzammil [73] : 5)

ketika menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb berkata, “Yakni berat tanggung jawab dan konsekuensinya, bukan berat lafazh atau maknanya, bahkan ia dimudahkan penyebutannya.” Maka dalam langkah pertama kehidupan Rasulullah SAW adalah menegakkan dan mewujudkan jama’ah tersebut.

Rasulullah SAW mengetahui dari perihal kehidupan para Nabi dan Rasul sebelumnya di dalam wahyu yang diturunkan kepadanya. Nabi yang mendapatkan sambutan baik dari kaumnya, lalu mereka membentuk suatu jama’ah yang mengemban tugas dakwahnya, maka kekallah dakwah dan lembaran-lembaran ajarannya.

Rasulullah SAW mengungangkapkan pentingnya Jama’atul Muslimin bagi keberhasilan dakwah, dan beliau menyatakan bahwa dengan jama’ah inilah akan menentukan eksistensi dakwah Islam. Pada peristiwa perang Badar Rasulullah SAW bermunajat kepada Allah Ta’ala yang diriwayatkan oleh Umar Ibn Khaththab: Pada waktu perang Badar.. lalu Nabi SAW menghadap kiblat, kemudian menjulurkan tangannya seraya berdo’a kepada Rabb-nya, “Ya Allah, jika kelompok dari orang-orang islam ini hancur, maka engkau engkau tidak akan disembah di muka bumi.”

Penegakan jama’ah inilah yang harus banyak mendapat perhatian dari para da’i. Karena itu para Da’i harus mengorbankan segala sesuatu untuk mewujudkan jama’ah ini, dengan mengesampingkan yang lain dalam upaya memelihara eksistensi dan kesatuan ummat Islam.
Para pemikir Islam pada masa sekarang ini telah sepakat atas wajibnya penegakan jama’ah ini.

Al-Maududi mengatakan, “Diantara sunnah-sunnah Allah Ta’ala diatas bumi ini ialah, bahwa dakwah (Islam) harus diperjuangkan oleh orang-orang yang senantiasa memeliharanya dan mengatur urusannya.”

Hasan al-Banna mengatakan “Dakwah ini wajib dibawa oleh suatu jama’ah yang mempercayainya dan berjihad di jalan-Nya.”

Sayyid Quthb mengatakan, “Bagaimana proses kebangkitan Islam dimulai? Sesungguhnya ia memerlukan golongan perintis yang menegakkan kewajiban ini.”

Sa’id Hawwa mengatakan, “Satu-satunya penyelesaian ialah harus tegak jama’ah.”

Fathi Yakan mengatakan, “Rasulullah SAW tidak pernah sama sekali mengandalkan kepada kerja individual, tetapi sejak awal beliau menganjurkan penegakan jama’ah.”

Wallahu'alam bish-showab [IA]

Membumikan Syariat Islam

“….Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Aku ridhoi Islam itu sebagai agama bagimu…" (QS. al-Maidah: 3)

Seorang Zakaria bin Yusuf (terpidana kasus perjudian di Aceh) mengungkapkan rasa malunya ketika dia harus naik ke podium di Masjid Agung Bireun dan menerima hukuman cambuk sebanyak enam kali. Efek penerapan hukum syariat Islam di Nangroe Aceh Darussalam tersebut membawa dampak psikologis baginya. Bukanlah sakit yang dia rasakan, karena memang hukuman itu dilakukan dengan batasan tidak boleh melukai terhukum, melainkan rasa malu yang harus ia tanggung karena hukuman dilaksanakan di depan masyarakat umum. Bagi masyarakat yang menyaksikanpun mendapat pelajaran berarti, bahwa melakukan perjudian adalah tindak pidana yang akan mendapatkan hukuman sebagaimana yang dialami Zakaria.

Itulah sekelumit kisah dari penerapan hukuman cambuk yang didasarkan pada qonun (peraturan daerah) hasil pembahasan ulama-ulama Aceh sesuai dengan hudud (hukum pidana) Islam. Pelaksanaan hukuman ini kemudian menimbulkan pro dan kontra karena baru pertama kali dilakukan di Aceh ataupun Indonesia. Ada yang bersuara miring namun tak sedikit yang memberikan dukungan. Ada juga yang berkomentar: "Kenapa hanya dilakukan terhadap penjudi murahan di pinggir-pinggir jalan? Kenapa tidak dilakukan juga kepada para koruptor dan konglomerat hitam yang nyata–nyata merugikan ummat dalam skala yang besar?". Terlepas dari itu semua, marilah kita mencoba mengambil pelajarannya.

Bolehlah kita mengatakan bahwa fenomena di atas hanya bagian kecil saja dari penerapan syariat Islam yang sempurna. Tetapi kita bisa melihat sebuah efek yang luar biasa dari penerapan syariat Islam tersebut. Prosesi pelaksanaan hukuman yang dilakukan di muka umum menjadikan pelaku maupun masyarakat luas menjadi jera dan tidak mau melakukan kesalahan yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh terpidana. Luka yang ditimbulkan akibat hukuman cambuk enam kali itu tidaklah seberapa, hanya membekaskan garis merah di punggung terpidana layaknya bekas kerokan. Akan tetapi bisa berdampak luas terhadap pemberantasan penyakit masyarakat yang tengah menggejala. Subhanallah !

Sejak lama masyarakat/ummat Islam, khususnya di Indonesia, merindukan diberlakukannya syariat Islam yang menjamin ketentraman dan kemakmuran hidup sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. Akan tetapi upaya penerapannya banyak menghadapi kendala-kendala. Baik itu muncul dari musuh-musuh Islam yang memang tidak senang kalau ummat Islam menjalankan ajarannya, ataupun halangan itu bahkan muncul dari kalangan internal ummat Islam. Berawal dari ketidakpahaman seseorang terhadap Syariat Islam yang mulia kemudian muncul stigma negatif terhadap pemberlakuan syariat Islam ini. Ada yang mengatakan ekstrim, keras, dan sebutan-sebutan yang menimbulkan ketakutan lainnya. Kalau kita renungkan sejenak saja, kita tahu bahwa mereka yang takut terhadap penerapan hukuman cambuk, qishas, rajam, ataupun potong tangan (semuanya terdapat dalam syariat Islam) adalah mereka-mereka yang melakukan kejahatan tersebut. Tidak ada alasan untuk takut kalau kita tidak melakukan tindakan pidana yang menyebabkan kita harus dihukum. Apalagi Islam juga tidak sembarangan menentukan sebuah hukuman terhadap pelaku kejahatan. Zina misalnya, untuk menjalankan hukuman cambuk seratus kali ataupun rajam dibutuhkan empat orang saksi yang melihat perbutan tersebut, kecuali pelaku mengakui perbuatannya.

Ketidakpahaman terhadap syariat ini berikutnya akan berakibat pada lemahnya komitmen ummat Islam untuk menerapkan syariat Islam dalam kehidupannya. Yang lebih parah lagi adalah apa yang sering kita sebut sebagai sekulerisme. Dimana ummat hanya memandang Islam sebagai ritualitas ibadah saja. Islam dia pakai dalam urusan pribadi ketika dia berhubungan dengan Allah SWT, seperti ibadah sholat, puasa, zakat, haji, sedekah dan sebagainya. Tetapi kemudian Islam ramai-ramai ditinggalkan ketika mengurusi masalah publik atau mengatur segala sesuatu yang melibatkan hubungan antar manusia. Politik, perdagangan, pendidikan, perundang-undangan, dan bidang publik lainnya sering berlepas dari nilai-nilai ajaran Islam. Sebagai seorang yang mengaku mukmin tentunya kita punya komitmen menerapkan syariat Islam ini secara kaffah (keseluruhan), menyangkut segala aspek dalam kehidupan ini. Hal ini sejalan dengan firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu sekalian ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu menuruti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (QS. al-Baqarah: 208). Ayat ini memerintahkan kepada kita untuk totalitas dalam membentuk pribadi kita menjadi seseorang yang memiliki syakhsiyah Islamiyah (pribadi yang Islami) dan sekaligus menerapkan Islam ini dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, bernegara, dan bergaul dengan seluruh ummat manusia di dunia. Sehingga syariat Islam ini dapat membumi, dijadikan minhajul hayah (aturan hidup) manusia yang menyebabkan datangnya berkah Allah SWT dari langit dan dari bumi-Nya.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Bagaimanakah upaya kita dalam membumikan syariat Islam ini? Sementara problematika ummat demikian banyaknya. Berikut ini langkah-langkah yang bisa kita upayakan :

1. Terapkan Islam dalam diri kita sendiri.

Ibda’ bi nafsik (mulailah dari dirimu), begitulah kira-kira. Perubahan sosial diawali dari perubahan individu-individu yang berada dalam masyarakat sosial tersebut. Disinilah pribadi muslim menjadi pilar dalam kebangkitan ummat. Salah satu faktor pertumbuhan Islam yang demikian cepat pada masa Rasulallah SAW adalah ditopangnya dakwah Islam oleh pribadi-pribadi yang kuat moral, fikir, dan fisiknya semacam Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan sahabat mulia lainnya. Mereka menjadi individu-individu yang melaksanakan al-Qur’an dan tuntunan Nabi Muhammad SAW kapanpun dan dimanapun mereka berada. Apakah itu ketika beribadah ataupun bermuamalah semisal bekerja, berdagang, mengelola bisnis, dan sebagainya, mereka senantiasa berpedoman kepada ajaran Islam. Inilah yang seharusnya kita contoh. Negeri kita mungkin tidak kurang dengan jumlah kaum intelektualnya, tetapi negeri kita sangat miskin moral karena kepandaian seseorang luluh ketika berhadapan dengan masalah ‘uang’. Oleh karena itu memunculkan pribadi-pribadi yang Islami menjadi agenda pertama sebagai prasyarat adanya perubahan.

Pribadi muslim inilah yang akan mewarnai kehidupan ini dengan nilai-nilai ajaran Islam. Ketika ia jadi pemimpin, dia akan jadi pemimpin yang amanah, saat menjadi pekerja dia akan jadi pekerja yang profesional, saat jadi ekonom dia akan menjauhkan ummat dari riba, saat jadi ahli pendidikan dia akan mengarahkan anak didiknya agar dekat dengan Tuhannya, saat jadi pengusaha dia menjadi pengusaha yang jujur dan memakai etika bisnis yang benar, itulah Pribadi Islami.

2. Terapkan Islam dalam kehidupan Rumah Tangga kita.

Setelah memunculkan pribadi-pribadi yang memahami dan melaksanakan Islam dengan benar, maka lewat pribadi-pribadi inilah kita bisa melangkah pada upaya penerapan syariat Islam dalam kehidupan rumah tangga. Rumah tangga adalah bentuk pemerintahan yang paling kecil. Di sana ada pemimpin dan yang dipimpin. Disana ada peraturan yang harus ditaati oleh seluruh anggota keluarga. Disana kewajiban untuk saling tolong-menolong antar anggota keluarga. Inilah miniatur sebuah pemerintahan/negara. Bahkan jika kita kaji lebih lanjut, kehidupan rumah tangga seseorang akan sangat berpengaruh terhadap peran sosial yang lebih luas. Jika seseorang memiliki kehidupan rumah tangga yang harmonis, maka dia bisa berperan di lingkungannya dengan baik. Dan sebaliknya, jika seseorang punya kehidupan rumah tangga yang berantakan, maka bagaimana mungkin masyarakat bisa percaya bahwa dia bisa melakukan peranan sosial dengan baik.

Dengan kata lain, keharmonisan kehidupan sebuah masyarakat sangat bergantung pada keharmonisan kehidupan keluarga-keluarga yang berada dalam masyarakat tersebut. Kalau kita kaitkan dengan upaya penerapan syariat Islam dalam masyarakat, maka masyarakat yang Islami akan dapat terwujud jika dan hanya jika keluarga-keluarga dalam masyarakat tersebut menerapkan syariat Islam.

3. Terapkan Islam dalam kehidupan bermasyarakat.

Upaya ini bisa kita mulai dari tatanan masyarakat terkecil, RT (Rukun Tetangga) misalnya. Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk senantiasa memuliakan tetangganya. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hormatilah tetanggamu.” (HR. Bukhari-Muslim). Jika ini diterapkan, maka terciptalah lingkungan masyarakat yang damai saling menghormati satu dengan yang lainnya. Penerapan Islam kemudian juga bisa kita lakukan dalam tatanan masyarakat yang lebih luas, yaitu desa, kecamatan, kabupaten, atau propinsi. Hendaknya kita menggunakan Islam sebagai dasar pengambilan kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Inilah yang menjadi prasyarat kalau kita menginginkan negara kita dikelola dengan mengedepankan nilai-nilai yang Islami. Terciptanya masyarakat yang Islami di berbagai daerah memudahkan kita untuk mengelola negara ini menjadi negara yang Islami.

4. Terapkan Islam dalam kehidupan bernegara kita.

Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal ini adalah pengelolaan sebuah negara. Hendaknya mulai diupayakan untuk menerapkan nilai-nilai ajaran Islam dalam setiap segi kehidupan bermasyarakat. Mulai dari pengaturan kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan pertahanan dan keamanan harus memperhatikan kaidah Islam di dalamnya. Hal ini didukung dengan pengejawantahan Islam dalam setiap aspek kehidupan tadi, sehingga Islam benar-benar di rasakan oleh setiap orang. Seorang politikus hendaknya berpolitik yang santun dan bermoral, seorang ekonom dituntut untuk mengaplikasikan ekonomi syariat, seorang ahli seni menampilkan seni yang bernuansa ruhani, seorang pengusaha pun harus menerapkan etika bisnis yang Islami.

Negeri-negeri muslim ataupun negeri yang di dalamnya terdapat orang-orang Islam dapat berlomba-lomba untuk mengupayakan penerapan Islam ini. Dengan begitu akan memudahkan kita untuk menyatukan negeri-negeri muslim itu dalam tatanan kehidupan Internasional yang berdasar kepada nilai-nilai Islam.

5. Membangun tatanan kehidupan internasional yang Islami.

Islam adalah agama universal, berlaku untuk seluruh ummat di dunia ini. Sebagaimana maksud diturunkannya syariat Islam, adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Oleh sebab itu upaya penerapan syariat Islam tidak berhenti sebelum kita mampu membangun tatanan kehidupan internasional yang berdasar kepada nilai-nilai ajaran Islam.

Fakta sejarah membuktikan bahwa ideologi yang mampu menjadikan sebuah negeri hidup dalam keadaan damai, tenteram, dan sejahtera adalah Islam. Tidak ada satupun ideologi materialis yang dapat menggantikannya, apakah itu sosialis, komunis, ataupun kapitalis. Islam menampilkan gambaran pengelolaan kehidupan manusia yang humanis, sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri. Di dalamnya ada keseimbangan kebutuhan jasmani maupun ruhani, kehidupan dunia maupun akhirat.

Kelima hal diatas merupakan langkah-langkah yang bisa kita tempuh dalam rangka mengembalikan kemuliaan Islam ini di tengah kehidupan masyarakat. Di dalamnya tentu terdapat tugas dan kerja yang tidak ringan. Bahkan mungkin sebagian kita akan mengatakan bahwa upaya ini meruapan suatu yang utopis (tidak mungkin dicapai), tapi sebagai muslim yang yakin dengan keagungan Allah SWT kita tidak mengenal sesuatu yang tidak mungkin. Atau ada juga yang mengatakan bahwa upaya ini terlalu panjang, maka pada realitasnya justru jalan inilah yang terpendek. Kita harus menyadari bahwa jalan dakwah memang jalan yang panjang. Umur dakwah ini lebih panjang dari usia pelaku-pelakunya. Oleh karena itu jangan ragu untuk memulainya. Selamat berjuang !

Wallahu a’lam bishshowaab. [SY]

Masyarakat Madani

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. an-Nisaa’: 58)
Gagasan tentang masyarakat Madani mungkin beberapa waktu belakangan ini tidak lagi menjadi trend perbincangan dalam masyarakat kita. Kajian tentang masyarakat Madani (masyarakat Madinah pada masa Rasulullah SAW) mengemuka ketika bangsa kita berada dalam masa transisi mencari solusi terhadap krisis multi-dimensi yang sedang melanda. Begitu derasnya arus permasalahan ummat sehingga masyarakat dan pemimpin bangsa ini disibukkan dengan agenda-agenda mendesak tanpa sempat berfikir strategis untuk menyelesaikan masalah dari akarnya. Contoh nyata adalah kasus penyakit lumpuh layu, busung lapar, dan kurang gizi. Pemerintah menyikapinya dengan mengaktifkan kembali program Posyandu. Solusi ini ada benarnya, tapi tidak secara substansial menjawab permasalahan yang ada. Menteri Kesehatan mengatakan,”Wabah penyakit itu akibat ketidaktahuan orang tua tentang kebutuhan gizi bagi anaknya”. Pernyataan ini langsung terpatahkan oleh seorang ibu di Kupang dengan menyatakan,”Kami faham tentang kebutuhan gizi, tentang empat sehat lima sempurna. Masalahnya kami tidak punya cukup uang untuk memenuhi kebutuhan itu”. Dari contoh ini terlihat bahwa yang menjadi masalah bukan pengetahuan tentang gizi tapi pendapatan keluarga yang memang di bawah standar. Ini hanyalah contoh sederhana yang menggambarkan bahwa krisis multi-dimensi bangsa ini telah disikapi dengan reaksioner tanpa memahami akar masalahnya.

Di tengah kondisi seperti ini kita membutuhkan orang-orang yang mampu bertindak dengan cepat tetapi didasari oleh pemahaman yang mendalam tentang akar sebuah masalah serta keyakinan terhadap solusi yang ditawarkan. Di sinilah ada baiknya, kita kembali melihat arah perubahan yang kita inginkan ke depan. Agar solusi terhadap permasalahan yang ada tidak bersifat reaksioner tetapi punya visi yang jelas. Untuk memperbaiki kondisi masyarakat kita, dapat ditelusuri kembali apa yang terdapat dalam masyarakat Madinah pada masa Rasulullah sekaligus meneladani bagaimana Rasulullah dan masyarakat pada waktu itu dapat menciptakan tatanan masyarakat yang berperadaban. Mungkin kita sudah sering memberikan masukan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan yang tepat, maka alangkah baiknya kalau kita juga memulai mengadakan perubahan pada masyarakat kita sendiri.

Rakyat yang hidup pada masa Rasulullah SAW adalah rakyat teladan. Mereka cahaya bagi peradaban manusia yang mampu mewarnai citra kemajuan, modern, saling menghargai dalam negara Madinah yang dibangun oleh Muhammad SAW. Karakter yang menonjol pada masyarakat Madinah adalah :

Rakyat yang egaliter (saling menghargai).

Pada kenyataannya, keluhuran perilaku rakyat pada masa Rasulullah SAW terletak pada sikap menghargai satu sama lain, tidak saling merendahkan, dan oleh karenanya terbuka untuk saling nasehat-menasehati. Umar bin Khaththab ra berkata,”Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: ’Nanti akan berkunjung kepada kalian seorang bernama Uwais bin Amir bersama-sama dengan jama’ah Yaman yang berasal dari suku Murad lalu Qaran. Semula ia berpenyakit belang lalu sembuh kecuali tersisa sebesar dirham. Ia mempunyai ibu yang masih hidup dan sangat berbakti kepadanya. Kalau ia berkemauan pasti Allah akan mengabulkannya. Seandainya kamu mampu suruhlah ia beristighfar untukmu dan jangan engkau lewatkan.”

Sejak itu Umar bin Khaththab selalu bertanya kepada tamu yang datang dari Yaman kalau-kalau di dalamnya terdapat orang yang bernama Uwais. Kemudian pada suatu saat berjumpalah Umar dengan ciri khas sebagaimana yang disampaikan Rasulullah. Umar meminta Uwais untuk memohonkan istighfar kepada Allah bagi dirinya dan Uwais melakukannya. Ketika Uwais hendak meninggalkan Madinah menuju Kufah, Umar menawarkan surat rekomendasi kepada walikota Kufah agar ia dapat meringankan beban perjalanan Uwais. Tapi Uwais menjawab, ”Terimakasih Umar, aku lebih leluasa menjadi rakyat biasa tanpa diketahui orang lain.” Setahun kemudian datang seorang tokoh terkemuka dari Kufah untuk menunaikan ibadah haji dan berkunjung ke tempat Umar. Umar menanyakan keadaan Uwais kepada tokoh itu. Si Tokoh bercerita bahwa Uwais dalam keadaan compang-camping dan hidup sederhana. Tokoh tersebut terkejut ketika Umar menceritakan siapa sebenarnya Uwais tersebut. Ketika kembali ke Kufah, Tokoh tersebut meminta Uwais agar Allah memberikan ampun kepadanya. Uwais mendoakan Tokoh Kufah tersebut dan sejak itu namanya populer di Kufah. Mulai saat itu pula Uwais menyingkir dan menghilang dari kota Kufah agar hidupnya tidak terganggu dengan penghargaan-penghargaan. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Rakyat yang peduli sesamanya.

Dari Jabir bin Abdullah, bahwa suatu siang di Madinah datang sekelompok manusia dari suku Mudhar. Orang-orang itu berpakaian sangat sederhana, hanya berkemul kain shuf tebal berlubang dari kepala dan bersenjatakan pedang. Melihat wajah orang-orang Mudhar tersebut berubahlah wajah Rasulullah SAW. Beliau masuk ke dalam rumah, tak lama kemudian keluar dan menyuruh Bilal untuk adzan dan iqamat. Seusai mengimami shalat, Rasulullah SAW berkhutbah dengan mengawali kalimatnya dengan surat an-Nisaa’ ayat 1 dan surat al-Hasyr ayat 18.

”Wahai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya, dan dari pada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. an-Nisaa’: 1)

”Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” QS. al-Hasyr: 18)

Seusai berkhutbah datanglah seseorang dengan membawa emas dan peraknya. Datang lagi orang yang lain membawa pakaian. Ada yang membawa gandum, kurma, dan seorang Anshar datang membawa pundi-pundi besar nyaris tak terangkat olehnya. Tak lama setelah itu nampaklah dua gundukan besar makanan, pakaian, dan lainnnya. Wajah Rasulullah berseri-seri dan beliau bersabda, ”Barangsiapa merintis jalan kebaikan dalam Islam berarti dia memperoleh pahala dan pahala orang-orang yang mengikuti jalan kebaikan tersebut dengan tiada mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang merintis jalan kejahatan berarti ia memikul dosanya ditambah dengan dosa-dosa orang yang mengikutinya dengan tiada mengurangi dosa mereka sedikitpun.”
Orang-orang Mudharpun kemudian mendapatkan bantuan dari saudara-saudaranya di Madinah.

Rakyat yang Memiliki Kesadaran Kolektif.
Para sahabat Nabi Muhammad SAW yang menjadi rakyat Madinah adalah rakyat yang berpengetahuan dan sadar akan hak dan kewajibannya. Ayat-ayat al-Qur’an turun setiap saat mengiringi kebutuhan mereka akan masalah nilai, hukum, dan moral. Rasulullah saw senantiasa mengarahkan dengan nasehat-nasehatnya tentang kehidupan bermasyarakat. Di atas semua itu berhimpun para sahabat yang dengan penghayatannya terhadap ajaran Islam saling berinteraksi satu sama lain.

Rasulullah Saw bersabda, ”Manusia itu mempunyai tabiat dan pembawaan yang baik dan buruk seperti logam emas dan perak. Maka yang bertabiat baik di zaman jahiliyah, baik pula di zaman Islam selama ia memahami ajaran agam Islam. Ruh itu berorganisasi, maka yang searah tujuannya akan berkawan, dan yang berlainan arah tujuannya akan berselisih”. (HR. Muslim). Rasulullah SAW juga menjelaskan dalam banyak nasehatnya tentang koridor-koridor moral yang harus diperhatikan oleh seluruh rakyat baik yang terkait dengan kehidupan sesama kaum Muslimin maupun antara kaum Muslimin dengan orang-orang kafir. Misalnya, kaum Muslimin diperintahkan untuk tidak saling menghasud, menjegal dalam perekonomian, saling membenci, menghina, dan lainnya.

Kesadaran kolektif di antara sesama rakyat bahkan sampai menyentuh pemikiran moralitas yang mendalam. Pemikiran ini menumbuhkan kesadaran akan kewajiban bersama menciptakan keamanan dan kenyamanan di tengah-tengah masyarakat. Rasulullah bersabda, ”Hendaklah kalian menolong saudara kalian yang dianiaya dan yang menganiaya.” Seorang sahabat bertanya, ”Ya Rasulullah, kutolong orang yang telah dianiaya, lalu kenapa harus kutolong orang yang berbuat aniaya?” Rasulullah menjawa, ”Kalian halangi perbuatan dzalimnya, berarti kalian telah berusaha menolongnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rakyat yang Cinta Ilmu Pengetahuan.

Di balik semua ketinggian sifat Sahabat-sahabat Nabi SAW yang cemerlang, faktor cinta ilmu pengetahuan merupakan watak dasar yang menunjang kehidupan mereka. Ayat-ayat al-Qur’an memerintahkan kaum Muslimin untuk tidak berhenti begitu saja pada sesuatu yang mereka tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Bahkan untuk ini Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban manusia terkait dengan fungsionalisasi pendengaran, penglihatan, dan gerak jiwa serta hatinya. Rasulullah saw bersabda, ”Barangsiapa yang akan diberi kebaikan oleh Allah maka diberi pemahaman yang mendalam tentang agamanya.” (HR. Tirmidzi).

Penghargaan terhadap ilmu pengetahuan demikian tingginya sehingga kaum Muslimin generasi pertama dan berikutnya dikenal sebagai orang-orang yang bersemangat dan ulet dalam mencari ilmu. Abdullah bin Mas’ud pernah menanti selama dua tahun untuk memilih kesempatan yang baik ketika ia akan menanyakan kepada Umar bin Khaththab ra. tentang ayat al-Qur’an yang turun berkenaan dengan kehidupan istri Rasulullah SAW, Hafshah binti Umar Ra. Hal itu disebabkan kesibukan Umar sebagai Khalifah dan keengganan Abdullah untuk bertanya kepada Umar pada saat yang tidak tepat. Dalam persoalan periwayatan suatu hadits, yang menandai kecermatan metode penulisan sejarah, tidak ada peradaban lain yang dapat menandingi kaum Muslimin. Ratusan kitab yang dikarang untuk mencatat para ahli ilmu pengetahuan dari kurun ke kurun waktu yang lain.

Imam Bukhari (194-252 H), misalnya, menulis buku ath-Thoriiqul Kabiir yang memuat sekitar 40.000 biografi tokoh-tokoh perawi hadits semenjak masa sahabat Nabi SAW sampai dengan guru-gurunya langsung. Penghayatan kaum Muslimin terhadap sesuatu yang disebut “ilmu” sendiri sangat khas, sebagaimana yang dikatakan oleh Sufyan bin Uyaynah (wafat 198 H), salah seorang ulama Kufah, ”Yang dimaksud dengan ilmu itu adalah menghafalkan, mengamalkan, mendengarkan, memperhatikan, dan menyebarkan.”

Begitulah perikehidupan pada masyarakat Madinah. Perlu kita pahami bahwa kehidupan teladan pada masa itu dikarenakan kesungguhan Pemimpin dan Masyarakat pada waktu itu pada pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupannya.

Wallahua’lam bishshowaab. [SY]

Menuju Islam Kaffah

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 208)


Cobalah sekali waktu anda melakukan sebuah perjalanan dan bawalah buku catatan dari satu tempat ke tempat yang lain, lakukanlah pengamatan. Mulai dari rumah, kantor, jalan, sekolah, pasar, lapangan, warung, pertokoan, supermarket, sampai terminal. Adakan juga perjalanan di desa, kota, kompleks perumahan, asrama, sawah, kebun, di proyek-proyek pembangunan, dan di mana saja. Kemudian berhentilah di masjid untuk istirahat, shalat, berdoa, dan merenung. Untuk apa?

Catat apa yang anda temui dalam perjalanan tadi, dan renungkanlah! Apa yang tengah terjadi di tengah ummat kita, ummat yang mayoritas muslim? Apa yang mereka lakukan dalam kehidupannya? Apa yang mereka lakukan untuk diri mereka sendiri, untuk teman mereka, atau untuk keluarga mereka? Lalu, apakah mereka menyisakan waktu untuk Allah Rabb mereka, untuk Rasul yang sering dipuji-puji dalam shalawat? Dan terakhir, apa yang telah mereka (dan juga kita tentunya) lakukan untuk Islam? Sungguh sangat sedikit!

Lalu kumpulkan catatan itu, niscaya akan anda dapati bahwa ummat ini begitu jauh dari Islam. Islam tidak lagi dijadikan sebagai panduan, dan tidak lagi dijadikan rujukan. Bahkan sering kita jumpai orang yang memiliki nama Islami pun bukan lagi jadi jaminan bahwa perilakunya Islami pula.

Di mana-mana kita saksikan wanita-wanita mengumbar auratnya sedemikian bebasnya. Laki-laki nakal semakin senang dan bersemangat karena punya tontonan dan mainan gratis. Mereka bisa mencuci mata dengan kemaksiatan sepuas-puasnya. Sementara sang wanita secara tidak sadar – atau mungkin malah bangga – bahwa dirinya tengah menjadi obyek dan incaran kemaksiatan, perkosaan, bahkan perampokan.

Anak-anak kecil, anak muda, orang tua, kakek-nenek, semua tengah asyik dengan dunianya masing-masing. Mereka tidak tahu atau malah tidak mau tahu bahwa setelah kehidupan dunia ini akan ada pertanggungjawaban, ada hari akhirat sebagai perhitungan dan pembalasan. Sebagai seorang muslim hendaknya kita tidak membiarkan mereka terjerumus dalam dosa dan kemaksiatan, sebab manakala kita tidak peduli, yang menanggung akibatnya bukan hanya mereka tetapi kita semua akan kena getahnya.

“Dan peliharalah dirimu dari fitnah yang tidak hanya ditimpakan pada orang-orang dzalim di antara kamu (saja)!” (QS. al-Anfal: 25)



Tahapan menuju Islam Kaffah.

Islam adalah sebuah ajaran (dien) yang merupakan sistem kehidupan (minhajul hayah) mencakup perikehidupan manusia secara utuh dan menyeluruh. Kesempurnaan Islam yang demikian luas tak dapat dipahami hanya dalam waktu singkat, tetapi membutuhkan tahapan, kesungguhan, interaksi, pelaksanaan, kontinuitas, sebagaimana manusia bergaul dan beramal dengan sebuah nilai kehidupan yang diyakininya. Semuanya butuh pemahaman, penajaman keyakinan, penghayatan, pengamalan, dan penyebarluasan (dakwah).

Sesungguhnya Islam itu syumul (universal) yang meliputi semua zaman, kehidupan, dan eksistensi (keberadaan) manusia. Risalah Islam adalah risalah yang panjang terbentang mencakup semua cakrawala ummat, begitu mendalam dan mendetail memuat urusan-urusan dunia dan akhirat.

Berikut ini adalah beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam memahami Islam secara totalitas atau menyeluruh, yaitu :

1. Memahami sumber-sumber hukum yang asasi dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah.

Rasulullah SAW. bersabda, “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang apabila berpegang kepadanya niscaya tidak akan tersesat selamanya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah.”

Al-Qur’an diturunkan sebagai penyadaran bagi ummat bahwa al-Qur’an adalah petunjuk yang sempurna dan paripurna bagi orang-orang yang bertaqwa (al-Baqarah ayat 2). Sebagai petunjuk kehidupan, mestinya kita jadikan al-Qur’an sebagai pengarah langkah kehidupan kita, pijakan setiap amal kita, parameter serta barometer segala kehidupan kita. Karena Allah telah menegaskan bahwa petunjuk al-Qur’an-lah yang paling terjamin kesempurnaannya (mengatur masalah syariat dan tatacara pelaksanaannya (al-Maidah ayat 48 dan 50) maupun kemurnian (asholah dan orisinalitas) ajarannya (al-Hijr ayat 9).

Sebagai tuntunan bagi manusia, Allah mengutus Rasulullah Muhammad SAW sebagai penyampai risalah al-Qur’an kepada seluruh ummat manusia. Lewat Sunnah Rasulullah inilah kemudian kita mendapatkan contoh aplikasi yang nyata terhadap pelaksanaan al-Qur’an.

“Sesungguhnya telah ada dalam (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah, dan kedatangan hari akhir, dan banyak menyebut asma Allah.” (QS. al-Ahzab ayat 21)

2. Memahami cara berfikir menurut Islam, yang dikenal dengan fikrul Islam.

Fikrul Islam adalah pemikiran yang dihasilkan oleh orang-orang yang bertaqwa dan bersumber dari nilai-nilai ajaran agama Islam. Seorang yang telah memahami Islam hendaknya menjadikan Islam sebagai rujukan pemikirannya. Dalam memandang setiap permasalahan yang terjadi di muka bumi ini, orang mukmin senantiasa mengaca dan mengembalikan permasalahan yang ada kepada Islam (Qur’an dan Sunnah).

Sebagai ajaran yang sempurna Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, mulai urusan yang terkecil sampai urusan yang besar. Imam Syahid Hasal al-Banna (ulama dari Mesir) mengatakan, ”Islam adalah perpaduan antara agama dan Negara, mushaf dan pedang, ibadah dan muamalah, pendidikan dan akhlaq, politik dan ekonomi, sosial dan peradilan, serta segala aspek yang ada di dunia ini.” Dengan demikian fikrul Islam menolak sekularisme (memisahkan urusan agama dengan negara). Semua urusan di dunia ini, apakah itu hanya terkait dengan urusan privat (individu) ataupun urusan publik maka kita harus menempatkan ajaran Islam sebagai pedoman.

3. Memahami cara pembentukan kepribadian Islami (Syakhsiyah Islamiyah), dengan kaidah, cara, dan aspek-aspek yang terkait di dalamnya.

Permasalahan yang paling mengemuka di dalam tubuh ummat Islam akhir-akhir ini adalah bahwa seorang muslim kehilangan identitas jati dirinya. Pengaruh budaya barat demikian deras menghantam perikehidupan ummat Islam Indonesia. Propaganda dilakukan dengan berbagai media. Televisi, radio, internet, koran, majalah, dan media massa lain begitu menjamur penuh dengan sajian budaya materialis yang mengajak manusia untuk hanya mementingkan kehidupan dunia saja. Kenyataan ini hendaknya menyadarkan kita bahwa jalan untuk menuju Islam yang Kaffah (menyeluruh) tidak lain dan tidak bukan adalah membentengi diri dari pengaruh-pengaruh negatif budaya barat tersebut. Dengan kata lain bagaimana kita berupaya untuk membentuk karakter dalam diri seorang muslim menjadi Syakhsiyah Islamiyah (pribadi yang Islami).

Tarbiyah Islamiyah (pendidikan Islam) adalah kunci dari terbentuknya kepribadian yang Islami. Dimulai dengan membangun kesadaran posisi manusia sebagai hamba Allah (adz-Dzariyat ayat 56) yang punya tugas mencari bekal untuk akhirat, ditindaklanjuti dengan pengokohan aqidah, akhlaq, dan cara bermasyarakat (muamalah). Pada tahap selanjutnya, Tarbiyah Islamiyah mengarahkan manusia untuk dapat berkontribusi sebanyak mungkin bagi kehidupan manusia. ”Sebaik-baik kalian adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain” (Al Hadits).

4. Memahami cara menyucikan jiwa.

Hal ini menjadi penting agar seorang muslim dalam berinteraksi terhadap Islam bukan sebatas pada konsep nilai, pemikiran, perasaan dan emosi semata. Akan tetapi juga harus diamalkan dan membawa pengaruh dalam kehidupan. Setiap orang beriman mengalami fluktuasi (naik-turunnya) nilai keimanan sesuai dengan kadar masing-masing. Dalam berhubungan dengan manusia yang lain akan terjadi berbagai macam gesekan pemikiran dan kepentingan karena manusia memang diciptakan dengan beragam. Gesekan-gesekan inilah yang menyebabkan kondisi keimanan seseorang tidak stabil. Rasulullah mengistilahkan keimanan yang kuat dengan ”sa’atan-sa’atan” (ada saat-saatnya). Oleh sebab itu orang mukmin harus memahami cara menyucikan jiwa mereka agar ketika terjadi penurunan keimanan segera dapat mengobatinya. Penyucian jiwa ini dapat dilakukan dengan i’tikaf (berdiam diri di masjid), tafakur (merenungi kebesaran ciptaan Allah), membaca sirah (sejarah) Nabi dan Sahabat serta banyak cara yang dapat dilakukan agar tersadar dari kelalaian beribadah kepada Allah SWT.

Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam menyucikan jiwa adalah: Pertama, bersegera kepada kebenaran. Yakni dengan senantiasa menyambut berbagai syiar dan seruan kebenaran dengan sambutan sami’na wa atho’na, kami dengar dan kami taati (az-Zumar 18, al- Ahzab: 36). Sebagai contoh adalah kesigapan para sahabat Rasul menyambut larangan minum khamr. Mereka segera menghancurkan gentong-gentong minuman keras mereka, sehingga Madinah banjir khamr.

Kedua, cinta kebenaran dan berlapang dada untuk Islam. Artinya ia siap mengorbankan segala kesenangan pribadi dan egonya untuk mengamalkan Islam, tanpa ada tawar-menawar (al-An’am ayat 125). Ketiga, menyambut seruan keimanan. Dengan menggunakan segala waktu dan kesempatan yang dimiliki untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT (ali-‘Imran ayat 193). Rasulullah bersabda, ”Di antara kebaikan Islamnya seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak berguna baginya.” (HR. Muslim)

Keempat, banyak berdzikir. Yakni mewarnai kehidupan dengan banyak mengingat Allah, saat beramal diawali dengan asma Allah, merasa diawasi Allah, dan mengakhiri amal perbuatan dengan menyebut asma Allah.

Kelima, menindaklanjuti keyakinan dengan amal shalih. Tidak berhenti pada konsep tetapi membuahkan amal nyata. Syahadat diikuti dengan shalat, nilai-nilai shalat diwujudkan dengan meninggalkan perbuatan keji dan mungkar, menegakkan jiwa disiplin. Puasa mendidik jiwa sabar dan istiqomah direalisasi dalam kehidupan. Zakat diwujudkan dengan kepedulian sosial terhadap kerabat, tetangga, masyarakat, maupun ummat secara keseluruhan. Nilai haji diwujudkan dengan meningkatkan pengorbanan untuk tegaknya masyarakat Islam, yakni mendermakan apa yang dimilikinya di jalan Allah, baik waktu, harta, jiwa, maupun raganya untuk Islam (at-Taubah ayat:111).

Keenam, Ittiba’ (mengikuti) al-Qur’an dan Sunnah. Yakni mengembalikan segala cara kehidupan dengan Al Qur’an dan Sunnah.

5. Memahami cara menyampaikan Islam (dakwah) kepada masyarakat.

Dimulai dengan mendakwahkan Islam pada masyarakat terkecil, yaitu keluarga. Setelah itu mendakwahkan Islam pada lingkungan sekitar, masyarakat luas, bangsa, hingga akhirnya menyebar luas secara internasional ke seluruh dunia. Juga secara konkret memahami bahwasanya dakwah adalah untuk seluruh manusia, yaitu saya, anda, dan mereka. Kitapun harus memahami metode yang paling tepat dalam menyampaikan seruan Islam kepada khalayak. Islam yang sempurna tentunya harus disampaikan secara utuh dan sempurna pula, tidak hanya sebagian-sebagian saja yang menjadi fokus garapan dan meninggalkan sebagian yang lain. Hal ini tentunya disampaikan dengan cara yang lembut dan menyentuh hati jauh dari sikap pemaksaan. Karena memang sejatinya tidak ada pemaksaan dalam Islam (al-Baqarah ayat 256).

Nah, dari sini jelas bahwa berhasil tidaknya dalam meninggikan kejayaan Islam terletak pada upaya kita dalam mengkaji Islam secara totalitas. Proses ini secara sunnatullah harus ditempuh oleh setiap muslim sebagai proses belajar yang berkesinambungan, yaitu menggali ilmu yang bermanfaat sepanjang hayat.

Ilmu, menurut Said bin Ali al-Qahthani, merupakan sendi terpenting dari hikmah. Oleh sebab itu Allah memerintahkan manusia agar mencari ilmu dan berilmu sebelum berkata dan beramal. Firman Allah, ”Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah dan mohonlah ampun bagi dosamu serta bagi orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (QS. Muhammad: 19)

Imam Bukhari rahimahullah membicarakan masalah ini dalam bab khusus, yakni ”ilmu sebelum berkata dan beramal”. Sehubungan dengan ini Allah memerintahkan Nabi-Nya dengan dua hal yaitu berilmu lalu beramal atau berilmu sebelum beramal. Hal ini dapat kita simak dalam susunan ayat di atas, yaitu ”fa’lam annahu laa ilaaha illallahu...”. maka ketahuilah bahwa tidak ada ilah selain Allah... sebagai perintah untuk berilmu. Selanjutnya perintah itu diikuti dengan perintah untuk beramal, yaitu ”wastaghfir lidzambika..” dan mohonlah ampun bagi dosamu...

Semua orang dapat berkata manis. Orang yang benar adalah orang yang perkataannya manis, yang sesuai dengan perbuatannya.

Wallahu a’alam bish shawaab.

Bekal Ramadhan

“...Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. al-Baqarah [2]: 197)


Seorang pemuda Muslim Indonesia yang belajar di sebuah negara Eropa membatalkan pernikahannya dengan seorang gadis berbeda agama hanya beberapa jam menjelang pernikahan. Alasannya sederhana, malam itu ia tidak bisa tidur karena di pelupuk matanya terbayang kembali kegembiraan masa kecilnya: berkopiah, bersarung, berbaju koko putih, berlari bersama teman-temannya berangkat ke masjid untuk shalat tarawih. Seketika ia sadar bahwa kegembiraan suci yang begitu kokoh mengendap di dasar hatinya tak akan pernah ia rasakan lagi begitu ia mengucapkan janji pernikahan yang mengharuskannya berubah halauan dari Islam. Dibatalkannya pernikahan itu, bahkan kini ia menjadi seorang muslim yang taat.
Kegembiraan dan kesukacitaan sahur, berbuka puasa, tarawih, tadarus Qur’an, bersedekah, bersilaturahim, dan shalat ’Ied di tanah lapang merupakan kenangan tak terlupakan dalam bulan Ramadhan. Setiap muslimin senantiasa merindukan kedatangan Ramadhan yang datangnya hanya sebulan dari dua belas bulan yang ada. Keindahan dan keteduhan bulan mulia ini, sebentar lagi akan tiba membawa keberkahan dan rahmat untuk seluruh muslimin di penjuru dunia. Allah SWT telah menyediakan berlipatnya pahala dari kebaikan yang dikerjakan, setiap muslim sudah sepantasnya saling berlomba dalam upaya meraih ridha-Nya dengan mengisi hari-hari Ramadhan dengan berbagai amalan sholeh dan kebajikan.

Persiapan Ramadhan
Ramadhan dijelaskan Rasulullah SAW sebagai Syahrul Azhim Mubarak, yakni bulan yang sangat agung dan berlimpah keberkahan serta kebaikan. Bulan yang pada sepuluh hari pertamanya tercurah rahmat, sepuluh hari keduanya berlimpah maghfirah (ampunan) dan sepuluh hari terakhirnya pembebasan dari api neraka. Masih banyak lagi keutamaan-keutamaan yang menghampar di Bulan Ramadhan. Namun semua itu tidak mungkin diraih tanpa ada persiapan-persiapan yang serius. Ada dua persiapan penting yang harus dilakukan dalam rangka menyambut Ramadhan, yakni persiapan pribadi muslim (I’dadun nafsi) dan mempersiapkan lingkungan (bi’ah) yang kondusif.

Persiapan pribadi itu terdiri dari empat hal:
1. I’dad Ruhi Imani (persiapan ruh keimanan)
Shalafus sholeh biasa melakukan persiapan ini jauh hari sebelum memasuki Ramadhan. Bahkan mereka sudah merindukan kedatangannya sejak bulan Rajab dan Sya’ban. Ini bisa dilihat dari do’a mereka: “Ya Allah, berikanlah kami keberkahan di bulan Rajab dan Sya’ban serta sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan”.
Dalam rangka persiapan ruh keimanan itu, dalam surat at-Taubah Allah melarang kita melakukan berbagai maksiat dan kedzaliman sejak bulan Rajab. Bukan berarti di bulan yang lain diperbolehkan, namun hal ini dimaksudkan agar sejak bulan Rajab iman kita meningkat. Bisa dikiaskan, Rajab dan Sya’ban merupakan masa pemanasan (warming-up) sehingga ketika mulai start memasuki Ramadhan kita sudah langsung lari kencang. Firman Allah SWT :
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu….” (QS. at-Taubah [9]: 36)

Satu hal yang juga dibiasakan Rasulullah dan para shahabat, pada akhir Sya’ban berkumpul di masjid untuk mendengarkan khutbah penyambutan Ramadhan. Saat itu juga dimanfaatkan oleh kaum muslimin untuk saling meminta maaf dengan harapan memasuki Ramadhan dengan tanpa beban dosa. Di samping itu Nabi juga memperbanyak silaturahmi dan bertahniah (saling mengucapkan selamat) menunaikan Ramadhan, sebuah tradisi yang perlu untuk dihidupkan.

2. I’dad Jasadi (Persiapan Fisik)
Untuk memasuki Ramadhan, secara fisik kitapun harus lebih sehat dari biasanya. Sebab, jika fisik lemah, kemuliaan-kemuliaan yang dilimpahkan Allah di bulan Ramadhan pun tidak optimal diraih. Rasulullah SAW dan para shahabat mencontohkan telah membiasakan melatih fisik dan mental dengan melakukan puasa sunnah, banyak berinteraksi dengan al-Qur’an, banyak melakukan Qiyamul lail (shalat malam), dan meningkatkan kepedulian sosial jauh hari sebelum Ramadhan.
Ibunda ‘Aisyah menggambarkan bahwa Rasulullah SAW banyak berpuasa sunnah di bulan Sya’ban, melebihi bulan lain di luar Ramadhan.

3. I’dad Maliyah (Persiapan Harta)
Jangan salah duga, persiapan harta bukan untuk membeli kebutuhan logistik buka puasa ataupun persiapan kue-kue dan baju lebaran seperti tradisi kita selama ini, namun dimanfaatkan untuk melipatgandakan shodaqoh karena Ramadhan merupakan bulan kepedulian sosial. Di samping itu, pahala bershodaqoh di bulan ini berlipat ganda dibandingkan bulan-bulan biasa.

4. I’dad Fikri wa ‘Ilmi (Persiapan Fikiran dan Ilmu)
Agar Ibadah Ramadhan bisa optimal, diperlukan bekal wawasan dan tashawur (persepsi) yang benar tentang Ramadhan. Cara yang bisa kita tempuh adalah dengan membaca berbagai literatur tentang Ramadhan yang bisa membimbing kita beribadah Ramadhan dengan benar sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Banyak menghafal ayat-ayat dan doa-doa yang terkait dengannya, serta diupayakan menguasai berbagai masalah dalam hukum puasa.

Di samping persiapan-persiapan pribadi di atas, tak kalah pentingnya adalah persiapan lingkungan. Untuk mewujudkan Ramadhan yang sukses, peran lingkungan sangat besar, betapapun semangatnya pribadi menyambut Ramadhan tetapi lingkungan tidak mendukung maka pribadi tersebut akan terkena imbasnya.
Pengkondisian lingkungan ini harus dilakukan di mana saja, dari lingkungan kecil keluarga, tetangga hingga dalam cakupan lebih luas masyarakat secara umum.
Di rumah misalnya, sebaiknya memberi semangat anak-anak dengan nasehat tentang puasa; didorong dengan pemberian hadiah seperti mukena, kain sajadah, ataupun al-Qur’an yang baru. Orang tua juga mencontohkan dengan banyak berpuasa sunnah, sehingga anak terbiasa dengan kondisi berpuasa. Ada sebagian keluarga yang bahkan menghias rumah dengan pita dan balon, seakan menyambut tamu mulia dengan sebuah kegembiraan.
Di luar rumah bisa dipasang stiker ataupun dalam cakupan masyarakat bisa disebarkan brosur ataupun pemasangan spanduk untuk mengingatkan masyarakat tentang Ramadhan dan keutamaannya. Tayangan-tayangan media diupayakan mendukung khusyu’nya Ibadah Ramadhan, gambar-gambar serta tayangan mengumbar aurat ditiadakan. Tak kalah pentingnya, masjid dan mushalla ditata lebih indah, bersih dan nyaman, sehingga jama’ah merasa lebih betah dan tenteram. Kemudian dipersiapkan juga berbagai acara yang beraneka ragam dan berbobot, bukan hanya shalat tarawih dan ifthor jama’i (berbuka puasa bersama) namun berbagai kajian agama, tafsir Qur’an, tadarus bersama, hingga pesantren anak dan remaja. Sebanyak-banyaknya ada variasi kegiatan, sehingga masyarakat tersedot ke dalam warna Islam agar terbiasa hidup Islami di luar bulan Ramadhan.

Puasa Sukses
Ibadah Ramadhan yang sukses adalah yang berhasil meraih ketakwaan serta mampu mempertahankannya selama sebelas bulan ke depan, seperti gambaran para Shahabat yang memiliki kualitas ibadah setara dengan Ramadhan sampai enam bulan setelahnya. Untuk mencapai kesuksesan tersebut, ada beberapa hal yang harus dilakukan :
1. Meningkatkan kualitas puasa tidak hanya makan dan minum namun juga melatih jiwa untuk berfikir dan berperilaku hidup Islami.
2. Meningkatkan interaksi dengan al-Qur’an
Hikmah al-Qur’an diturunkan Allah di bulan Ramadhan adalah supaya setiap muslim bisa lebih banyak membaca, memahami, dan mengikuti tuntunannya. Sangat mustahil seorang akan bertakwa tanpa mengkaji al-Qur’an.
3. Memperhatikan aturan Allah dan tidak melanggarnya
Allah telah memberikan kepada ummat manusia hikmah Ramadhan berupa latihan disiplin mentaati rukun shaum, larangan makan-minum serta kewajiban mengekang hawa nafsu dari fajar hingga waktu berbuka tiba. Kedisiplinan diri untuk patuh dan berserah diri pada aturan Allah untuk tetap dipupuk dan dikembangkan di sebelas bulan setelah Ramadhan.
4. Beri’tikaf di masjid pada 10 hari terakhir
Beri’tikaf di masjid pada 10 hari terakhir merupakan tanda dekatnya hubungan kita dengan Allah SWT karena senantiasa berada di lingkungan baitullah (rumah Allah) serta memperbanyak dzikir, ibadah, dan tafakur.

Ramadhan telah menjelang, alangkah ruginya ketika kita melewatkan hari-hari di dalamnya tanpa melakukan kebaikan-kebaikan. Karena seperti dinasehatkan Rasulullah SAW kepada kita, kebaikan-kebaikan yang dilakukan pada bulan Ramadhan akan mendapatkan ganjaran seperti jika menunaikan Ibadah di bulan lain. Dan barangsiapa menunaikan Ibadah kepada Alah, maka akan mendapatkan tujuh puluh kali lipat ganjaran orang yang yang melakukan ibadah di bulan lain. Selamat menyiapkan bekal Ramadhan, semoga kita dimudahkan Allah untuk meraih sukses Ramadhan tahun ini. [SY]

Wednesday, September 20, 2006

salam