Lembar Dakwah LABBAIK

Wednesday, September 27, 2006

Membumikan Syariat Islam

“….Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Aku ridhoi Islam itu sebagai agama bagimu…" (QS. al-Maidah: 3)

Seorang Zakaria bin Yusuf (terpidana kasus perjudian di Aceh) mengungkapkan rasa malunya ketika dia harus naik ke podium di Masjid Agung Bireun dan menerima hukuman cambuk sebanyak enam kali. Efek penerapan hukum syariat Islam di Nangroe Aceh Darussalam tersebut membawa dampak psikologis baginya. Bukanlah sakit yang dia rasakan, karena memang hukuman itu dilakukan dengan batasan tidak boleh melukai terhukum, melainkan rasa malu yang harus ia tanggung karena hukuman dilaksanakan di depan masyarakat umum. Bagi masyarakat yang menyaksikanpun mendapat pelajaran berarti, bahwa melakukan perjudian adalah tindak pidana yang akan mendapatkan hukuman sebagaimana yang dialami Zakaria.

Itulah sekelumit kisah dari penerapan hukuman cambuk yang didasarkan pada qonun (peraturan daerah) hasil pembahasan ulama-ulama Aceh sesuai dengan hudud (hukum pidana) Islam. Pelaksanaan hukuman ini kemudian menimbulkan pro dan kontra karena baru pertama kali dilakukan di Aceh ataupun Indonesia. Ada yang bersuara miring namun tak sedikit yang memberikan dukungan. Ada juga yang berkomentar: "Kenapa hanya dilakukan terhadap penjudi murahan di pinggir-pinggir jalan? Kenapa tidak dilakukan juga kepada para koruptor dan konglomerat hitam yang nyata–nyata merugikan ummat dalam skala yang besar?". Terlepas dari itu semua, marilah kita mencoba mengambil pelajarannya.

Bolehlah kita mengatakan bahwa fenomena di atas hanya bagian kecil saja dari penerapan syariat Islam yang sempurna. Tetapi kita bisa melihat sebuah efek yang luar biasa dari penerapan syariat Islam tersebut. Prosesi pelaksanaan hukuman yang dilakukan di muka umum menjadikan pelaku maupun masyarakat luas menjadi jera dan tidak mau melakukan kesalahan yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh terpidana. Luka yang ditimbulkan akibat hukuman cambuk enam kali itu tidaklah seberapa, hanya membekaskan garis merah di punggung terpidana layaknya bekas kerokan. Akan tetapi bisa berdampak luas terhadap pemberantasan penyakit masyarakat yang tengah menggejala. Subhanallah !

Sejak lama masyarakat/ummat Islam, khususnya di Indonesia, merindukan diberlakukannya syariat Islam yang menjamin ketentraman dan kemakmuran hidup sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. Akan tetapi upaya penerapannya banyak menghadapi kendala-kendala. Baik itu muncul dari musuh-musuh Islam yang memang tidak senang kalau ummat Islam menjalankan ajarannya, ataupun halangan itu bahkan muncul dari kalangan internal ummat Islam. Berawal dari ketidakpahaman seseorang terhadap Syariat Islam yang mulia kemudian muncul stigma negatif terhadap pemberlakuan syariat Islam ini. Ada yang mengatakan ekstrim, keras, dan sebutan-sebutan yang menimbulkan ketakutan lainnya. Kalau kita renungkan sejenak saja, kita tahu bahwa mereka yang takut terhadap penerapan hukuman cambuk, qishas, rajam, ataupun potong tangan (semuanya terdapat dalam syariat Islam) adalah mereka-mereka yang melakukan kejahatan tersebut. Tidak ada alasan untuk takut kalau kita tidak melakukan tindakan pidana yang menyebabkan kita harus dihukum. Apalagi Islam juga tidak sembarangan menentukan sebuah hukuman terhadap pelaku kejahatan. Zina misalnya, untuk menjalankan hukuman cambuk seratus kali ataupun rajam dibutuhkan empat orang saksi yang melihat perbutan tersebut, kecuali pelaku mengakui perbuatannya.

Ketidakpahaman terhadap syariat ini berikutnya akan berakibat pada lemahnya komitmen ummat Islam untuk menerapkan syariat Islam dalam kehidupannya. Yang lebih parah lagi adalah apa yang sering kita sebut sebagai sekulerisme. Dimana ummat hanya memandang Islam sebagai ritualitas ibadah saja. Islam dia pakai dalam urusan pribadi ketika dia berhubungan dengan Allah SWT, seperti ibadah sholat, puasa, zakat, haji, sedekah dan sebagainya. Tetapi kemudian Islam ramai-ramai ditinggalkan ketika mengurusi masalah publik atau mengatur segala sesuatu yang melibatkan hubungan antar manusia. Politik, perdagangan, pendidikan, perundang-undangan, dan bidang publik lainnya sering berlepas dari nilai-nilai ajaran Islam. Sebagai seorang yang mengaku mukmin tentunya kita punya komitmen menerapkan syariat Islam ini secara kaffah (keseluruhan), menyangkut segala aspek dalam kehidupan ini. Hal ini sejalan dengan firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu sekalian ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu menuruti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (QS. al-Baqarah: 208). Ayat ini memerintahkan kepada kita untuk totalitas dalam membentuk pribadi kita menjadi seseorang yang memiliki syakhsiyah Islamiyah (pribadi yang Islami) dan sekaligus menerapkan Islam ini dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, bernegara, dan bergaul dengan seluruh ummat manusia di dunia. Sehingga syariat Islam ini dapat membumi, dijadikan minhajul hayah (aturan hidup) manusia yang menyebabkan datangnya berkah Allah SWT dari langit dan dari bumi-Nya.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Bagaimanakah upaya kita dalam membumikan syariat Islam ini? Sementara problematika ummat demikian banyaknya. Berikut ini langkah-langkah yang bisa kita upayakan :

1. Terapkan Islam dalam diri kita sendiri.

Ibda’ bi nafsik (mulailah dari dirimu), begitulah kira-kira. Perubahan sosial diawali dari perubahan individu-individu yang berada dalam masyarakat sosial tersebut. Disinilah pribadi muslim menjadi pilar dalam kebangkitan ummat. Salah satu faktor pertumbuhan Islam yang demikian cepat pada masa Rasulallah SAW adalah ditopangnya dakwah Islam oleh pribadi-pribadi yang kuat moral, fikir, dan fisiknya semacam Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan sahabat mulia lainnya. Mereka menjadi individu-individu yang melaksanakan al-Qur’an dan tuntunan Nabi Muhammad SAW kapanpun dan dimanapun mereka berada. Apakah itu ketika beribadah ataupun bermuamalah semisal bekerja, berdagang, mengelola bisnis, dan sebagainya, mereka senantiasa berpedoman kepada ajaran Islam. Inilah yang seharusnya kita contoh. Negeri kita mungkin tidak kurang dengan jumlah kaum intelektualnya, tetapi negeri kita sangat miskin moral karena kepandaian seseorang luluh ketika berhadapan dengan masalah ‘uang’. Oleh karena itu memunculkan pribadi-pribadi yang Islami menjadi agenda pertama sebagai prasyarat adanya perubahan.

Pribadi muslim inilah yang akan mewarnai kehidupan ini dengan nilai-nilai ajaran Islam. Ketika ia jadi pemimpin, dia akan jadi pemimpin yang amanah, saat menjadi pekerja dia akan jadi pekerja yang profesional, saat jadi ekonom dia akan menjauhkan ummat dari riba, saat jadi ahli pendidikan dia akan mengarahkan anak didiknya agar dekat dengan Tuhannya, saat jadi pengusaha dia menjadi pengusaha yang jujur dan memakai etika bisnis yang benar, itulah Pribadi Islami.

2. Terapkan Islam dalam kehidupan Rumah Tangga kita.

Setelah memunculkan pribadi-pribadi yang memahami dan melaksanakan Islam dengan benar, maka lewat pribadi-pribadi inilah kita bisa melangkah pada upaya penerapan syariat Islam dalam kehidupan rumah tangga. Rumah tangga adalah bentuk pemerintahan yang paling kecil. Di sana ada pemimpin dan yang dipimpin. Disana ada peraturan yang harus ditaati oleh seluruh anggota keluarga. Disana kewajiban untuk saling tolong-menolong antar anggota keluarga. Inilah miniatur sebuah pemerintahan/negara. Bahkan jika kita kaji lebih lanjut, kehidupan rumah tangga seseorang akan sangat berpengaruh terhadap peran sosial yang lebih luas. Jika seseorang memiliki kehidupan rumah tangga yang harmonis, maka dia bisa berperan di lingkungannya dengan baik. Dan sebaliknya, jika seseorang punya kehidupan rumah tangga yang berantakan, maka bagaimana mungkin masyarakat bisa percaya bahwa dia bisa melakukan peranan sosial dengan baik.

Dengan kata lain, keharmonisan kehidupan sebuah masyarakat sangat bergantung pada keharmonisan kehidupan keluarga-keluarga yang berada dalam masyarakat tersebut. Kalau kita kaitkan dengan upaya penerapan syariat Islam dalam masyarakat, maka masyarakat yang Islami akan dapat terwujud jika dan hanya jika keluarga-keluarga dalam masyarakat tersebut menerapkan syariat Islam.

3. Terapkan Islam dalam kehidupan bermasyarakat.

Upaya ini bisa kita mulai dari tatanan masyarakat terkecil, RT (Rukun Tetangga) misalnya. Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk senantiasa memuliakan tetangganya. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hormatilah tetanggamu.” (HR. Bukhari-Muslim). Jika ini diterapkan, maka terciptalah lingkungan masyarakat yang damai saling menghormati satu dengan yang lainnya. Penerapan Islam kemudian juga bisa kita lakukan dalam tatanan masyarakat yang lebih luas, yaitu desa, kecamatan, kabupaten, atau propinsi. Hendaknya kita menggunakan Islam sebagai dasar pengambilan kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Inilah yang menjadi prasyarat kalau kita menginginkan negara kita dikelola dengan mengedepankan nilai-nilai yang Islami. Terciptanya masyarakat yang Islami di berbagai daerah memudahkan kita untuk mengelola negara ini menjadi negara yang Islami.

4. Terapkan Islam dalam kehidupan bernegara kita.

Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal ini adalah pengelolaan sebuah negara. Hendaknya mulai diupayakan untuk menerapkan nilai-nilai ajaran Islam dalam setiap segi kehidupan bermasyarakat. Mulai dari pengaturan kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan pertahanan dan keamanan harus memperhatikan kaidah Islam di dalamnya. Hal ini didukung dengan pengejawantahan Islam dalam setiap aspek kehidupan tadi, sehingga Islam benar-benar di rasakan oleh setiap orang. Seorang politikus hendaknya berpolitik yang santun dan bermoral, seorang ekonom dituntut untuk mengaplikasikan ekonomi syariat, seorang ahli seni menampilkan seni yang bernuansa ruhani, seorang pengusaha pun harus menerapkan etika bisnis yang Islami.

Negeri-negeri muslim ataupun negeri yang di dalamnya terdapat orang-orang Islam dapat berlomba-lomba untuk mengupayakan penerapan Islam ini. Dengan begitu akan memudahkan kita untuk menyatukan negeri-negeri muslim itu dalam tatanan kehidupan Internasional yang berdasar kepada nilai-nilai Islam.

5. Membangun tatanan kehidupan internasional yang Islami.

Islam adalah agama universal, berlaku untuk seluruh ummat di dunia ini. Sebagaimana maksud diturunkannya syariat Islam, adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Oleh sebab itu upaya penerapan syariat Islam tidak berhenti sebelum kita mampu membangun tatanan kehidupan internasional yang berdasar kepada nilai-nilai ajaran Islam.

Fakta sejarah membuktikan bahwa ideologi yang mampu menjadikan sebuah negeri hidup dalam keadaan damai, tenteram, dan sejahtera adalah Islam. Tidak ada satupun ideologi materialis yang dapat menggantikannya, apakah itu sosialis, komunis, ataupun kapitalis. Islam menampilkan gambaran pengelolaan kehidupan manusia yang humanis, sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri. Di dalamnya ada keseimbangan kebutuhan jasmani maupun ruhani, kehidupan dunia maupun akhirat.

Kelima hal diatas merupakan langkah-langkah yang bisa kita tempuh dalam rangka mengembalikan kemuliaan Islam ini di tengah kehidupan masyarakat. Di dalamnya tentu terdapat tugas dan kerja yang tidak ringan. Bahkan mungkin sebagian kita akan mengatakan bahwa upaya ini meruapan suatu yang utopis (tidak mungkin dicapai), tapi sebagai muslim yang yakin dengan keagungan Allah SWT kita tidak mengenal sesuatu yang tidak mungkin. Atau ada juga yang mengatakan bahwa upaya ini terlalu panjang, maka pada realitasnya justru jalan inilah yang terpendek. Kita harus menyadari bahwa jalan dakwah memang jalan yang panjang. Umur dakwah ini lebih panjang dari usia pelaku-pelakunya. Oleh karena itu jangan ragu untuk memulainya. Selamat berjuang !

Wallahu a’lam bishshowaab. [SY]

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home