Lembar Dakwah LABBAIK

Sunday, December 17, 2006

KESETIAAN

Seringkali kita mendengar sebuah ungkapan bahwa hidup adalah pilihan. Di dalam setiap pilihan terdapat konsekuensi yang harus dijalankan selain hak yang akan kita dapatkan. Termasuk di dalam berkeyakinan dan beragamapun kita dihadapkan ke dalam berbagai pilihan. Banyak sekali jenis keyakinan maupun agama yang ada di sekeliling kita dan semuanya menawarkan hak-hak menuntut kewajiban-kewajiban. Islam adalah salah satu dari sekian banyak pilihan tersebut, dan Allah Ta’ala memberi kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih Islam atau memilih keyakinan yang lain, namun ingat ! bahwa setiap pilihan ada konsekuensinya tersendiri, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thogut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat dan tidak akan putus ...” (QS. al-Baqarah: 256).
Ketika kita memilih Islam yang diyakini sebagai sebuah agama yang benar, maka tidak sedikit konsekuensi dan tuntutan Islam yang harus kita jalankan. Sehingga digambarkan dalam sebuah hadits bahwa dunia ibarat penjara bagi orang-orang mukmin, dikarenakan begitu banyaknya aturan-aturan yang harus dipatuhi ketika kita ber-Islam. Disamping itu Hasan Al-Banna (ulama Mesir) pernah berkata bahwa kewajiban kita lebih banyak daripada waktu yang tersedia. Ini menggambarkan betapa tuntutan Islam terhadap seorang muslim “sangat sulit untuk kita hitung dengan jari”.

Secara umum konsekuensi dan tuntutan tersebut bisa kita gali di dalam kalimat syahadatain. Pernah suatu ketika Rasulullah menawarkan kalimat ini kepada Abu Jahal. Beliau berkata kepadanya, maukah engkau aku beritahu sebuah kalimat yang dengan kalimat itu Bangsa Arab akan menundukkan Kerajaan Romawi dan Persi. Mendengar tawaran tersebut Abu Jahal kemudian berkata, jangankan satu kalimat sepuluh kalimatpun kalau memang demikian aku akan siap mendengarnya. Lalu Rasulullah berkata, katakanlah bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Ternyata kalimat yang ditawarkan Rasulullah itu adalah kalimat syahadat dan begitu Abu Jahal tahu bahwa kalimat itu adalah kalimat syahadat, sontak Abu Jahal menolaknya mentah-mentah. Penolakan Abu Jahal bukanlah penolakan seorang yang “bodoh” , tetapi justru Abu Jahal sangat tahu bahwa dibalik perkataan itu tergantung begitu banyak resiko dan tuntutan yang harus dipikulnya.

Salah satu bentuk resiko, tuntutan atau konsekwensi yang harus dijalankan ketika seseorang bersyahadat adalah dia harus berwala’ dan baro’. Apa yang dimaksud dengan wala’?, Ibnul Arobi berkata, ada dua orang bertengkar kemudian datang orang ketiga untuk mendamaikan keduanya, namun si penengah ini mempunyai kecederungan kepada salah satunya, lalu dia membela dan pilih kasih terhdapnya, maka dapat dikatakan orang tersebut telah berwala’ kepada salah satu orang yang bertikai itu. Adapun arti wala’ dalam istilah adalah kecintaan seorang hamba terhadap Robbnya dan Nabi-Nya dengan mengikuti perintah dan menjauhi larangan dan mencintai para wali-Nya dari orang-orang yang beriman. Sedangkan bara dalam bahasa adalah dari kata baraa, berarti memutuskan atau memotong, yang dimaksud di sini adalah memutuskan hubungan dengan ornang-orang di luar Islam, dengan demikian dia tidak mencintai mereka dan tidak tolong menolong dengan mereka. Arti bara secara istilah adalah menjauhkan, membebaskan diri dan mengumumkan permusuhan setelah memberikan alasan dan peringatan.

Lalu siapa yang harus kita berikan kesetiaan (wala’) dan siapa yang harus kita jauhi (bara) ?. Loyalitas harus kita berikan kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, sebagaimana Allah TA’ALABerfirman:
“Sesungguhnya wala’ kamu hanyalah Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi wala’-nya, maka sesungguhnya hizbullah itulah yang pasti menang.”(QS. al-Ma’idah : 54-55).

Wala’ (kesetiaan) kepada Allah adalah wala’ (kesetiaan) yang harus pertama kali kita wujudkan, karena inilah dasar utama kita ber-Islam. Adalah keliru ketika kita mengaku sebagai seorang muslim tetapi kita tidak mencintai Allah. Wala’ kita kepada Allah adalah dengan tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu apapun, hanya Allahlah satu-satunya yang kita sembah, sat-satunya tempat bergantung dan satu-satunya tempat kita meminta pertolongan. Allah Ta’ala, berfirman:“Dan diantara manusia ada yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah...”(QS. al-Baqarah : 165).

Setelah kita mencintai Allah, maka kita harus mencintai apa yang dicintai-Nya dan kita dituntut pula untuk membenci apa yang dibenci-Nya. Siapa yang dicintai Allah adalah mereka yang harus kita berikan kesetiaan dan kecintaan kita kepada mereka karena Allah, yaitu rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Kita harus mencintai Rasulullah karena tidak dikatakan sebagai orang yang beriman orang yang tidak mencintai Rasulullah, dengan demikian Allah akan membenci orang-orang yang tidak mencintai rasul-Nya. Dan setiap kecintaan menuntut sebuah realisasi sebagai wujud kecintaan kita kepada yang kita cintai dan wujud kecintaan kita kepada Rasulullah adalah kita mengikuti sunnah-sunnah (aturan-aturan) –nya, baik aturan yang wajib maupun sunnah dan meninggalkan hal-hal yang makruh apalagi haram. Sehingga tidak akan diterima amalan seseorang ketika tidak mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah meskipun dilaksanakan dengan ikhlas karena Allah. “Katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Ali-Imran: 31-32). Terkait dengan kecintaan kepada Rasulullah ada suatu kisah seorang sahabat yang sangat menarik untuk kita ketahui dan kita teladani, beliau adalah Ibnu Umar Ra. Ibnu Umar adalah seorang sahabat yang sangat detail memperhatikan dan meneladani perilaku Rasulullah SAW. Sehingga saking detailnya beliau dalam meneladani apa yang dilakukan Rasulullah sampai-sampai sesutu yang sebenarnya tidak perlu untuk dilakukan, karena Rasulullah melakukannya beliau lakukan. Misalnya dalam sebuah perjalanan naik unta, Ibnu Umar pernah melihat Rasulullah memutarkan untanya di suatu tempat. Pada kesempatan yang lain ketika Ibnu Umar melakukan sebuah perjalanan dan kebetulan melewati jalan dimana Rasulullah pernah memutarkan untanya beberapa kali, maka Ibnu Umar-pun akan memutarkan untanya beberapa kali persis seperti yang dilakukan oleh Rasulullah

Disamping itu kenapa kita harus mengikuti sunnah, karena mengikuti sunnah adalah salah satu prasarat kemengan umat ini. Kita masih ingat kisah pasukan kaum muslimin di bawah pimpinan panglima Amr bin Ash yang mengalami kesulitan untuk mengalahkan Pasukan Romawi dalam sebuah oprasi penaklukan Mesir, padahal peperangan sudah memakan waktu berbulan-bulan lamanya. Selidik demi selidik, ternyata ada satu sunnah Rasulullah yang ditinggalkan oleh pasukan Kaum Muslimin pada waktu itu. Yaitu bersiwak (gosok gigi). Dan memang terbukti setelah kaum muslimin melakukan siwak, kemenganpun datang tak lama setelah itu. Nah berapa banyak sunnah Rasul yang telah ditinggalkan oleh Kaum Muslimin pada saat ini ?.

Kemudian, wala’ (kesetiaan) tersebut harus juga kita berikan kepada orang-orang yang beriman. Orang-orang yang beriman adalah saudara kita dunia dan akhirat, itulah persaudaraan yang hakiki, persaudaraan yang didasarkan atas suatu kesamaan aqidah dan tidak didasarkan atas kepentingan dunia. Wujud dari persaudaraan tersebut adalah kita memberikan wala’ kepada meraka dengan memenuhi hak mereka sebagai seorang muslim. Diantaranya: kecintaan, pertolongan, menghormatinya, menylaminya, dan menjaga kehormatannya. “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka...”(QS. al-Fath: 29).

Apabila kita melihat realitas saat ini betapa banyak saudara-saudar muslim kita mengalami keterpurukan serta dinistakan oleh musuh-musuh Islam. Palestina, Afganistan, Libanon, Irak, Thailannd, Filiphina, Checnya dan masih banyak wilayah lainnya yang mengalami hal-hal serupa. Saudara-saudara kita itu memiliki hak atas kita, dan kita memiliki kewajiban untuk menunaikan hak-hak mereka sebagai seorang muslim, semampu kita. Derajat paling minimal sebagai bukti bahwa kita memenuhi hak-hak mereka adalah memberikan kepedulian kita kepada mereka dengan mendoakan mereka. Namun ketika tidak adak kepedulian sama sekali terhadap nasib yang dialami oleh mereka, maka patut dipertanyakan keber-Islamannya. “Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan umatku, maka dia tidak termasuk ke dalam golonganku” ( hadits). Muslim dengan muslim yang lainnya itu ibarat satu tubuh apabila salah satu bagian tubuhnya sakit maka sakit pula bagian tubuh yang lainnya.

Kecintaan akan senantiasa beriringan dengan kebencian. Maka sebuah wala’ (kesetiaan) harus senantiasa diiringi dengan baro’ (Kebencian). Wala’ kepada Allah, Rasulullah dan orang beriman harus diiringi dengan baro’ kepada Thogut (segala sesuatu yang diibadahi selain Allah) dan kepada mereka yang mengingkari Allah, malaikat, kitab, rasul dan hari akhir. “Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-ornag itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka”(QS. al-Mujadilah: 22)

Umat yang paling besar permusuhannya terhadap Islam dan paling keras penentangannya terhadap Allah dan rasul-Nya adalah Yahudi dan Nasrani, sehingga Allah memberitakan kepada kita (kaum muslimin) bahwa “orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepad kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka.”(QS. al-Baqarah: 120).

Barat boleh dibilang sebagai representasi dari kedua umat tersebut. Barat saat ini sedang mengalami masa keemasannya dan dominan terhadap peradaban lainnya. Namun Huntington meramalkan bahwa peradaban barat akan mampu digeser oleh dua peradaban besar lainnya yaitu Islam dan Confusianime (China), sehingga Barat menjadi khawatir akan posisinya. Dari situ kemudian munculah strategi-strategi yang digulirkan Barat untuk mempertahankan eksistensi dominasinya. Dua diantara strategi tersebut adalah perang ekonomi yang dilancarkan terhadap China, karena memang kekauatan China terletak pada sektor perekonomian, untuk tahun 2005 & 2006 saja tingkat pertumbuhan ekonomi China mencapai angka di atas 10%, sedangkan Indonesia ketika masa jaya-jayanya (jaman ORBA) tingkat pertumbuhan ekonominya masih berada di bawah angka 7%. Maka pantas kalau Barat sangat gerah dengan pesatnya tingkat pertumbuhan perekonomian China ini. .

Strategi ke Dua adalah perang pemikiran yang dilancarkan terhadap dunia Islam. Melalui perang pemikiran inilah wala’ dan baro’ Umat Islam diobok-obok, Wala’ yang seharusnya diberikan kepada Kaum Muslimin dan baro’ yang seharusnya diberikan kepada Yahudi dan Nasrani (serta penentang-penentang Allah yang lain) malah sebaliknya. Betapa banyak kaum muslim yang menganggap para mujahidin, para da’i, para ustadz dan para aktifis Islam lainya sebagai biang keladi dari sejumlah aksi kekerasan termasuk aksi teror yang belakngan sering terjadi di negeri ini, dan bahkan pesantren dianggap sebagai basis perekrutan para teroris. Sebaliknya betapa banyak pula kaum muslimin yang menganggap pembohong-pembohong Holywood sebagai pahlawan bahkan dijadikannya sebagai idola.

Suatu ketika Bush pernah menguji wala’ dan baro’ kaum Muslimin di seluruh dunia dengan memberikan dua pilihan kepada semua pihak, baik organisasi ataupun negara se- dunia melalui perkataannya yang sangat terkenal yau are whit us or yau are whit terorist. Hampir seluruh negara menyambut ajakan Bush dengan memilih alternatif yang pertama (perang melawan teroris), termsuk Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan hanya lima negara yang memilih alternatif kedua (Sudan, Iran, Korea Utara, Suriah, Libya). Permasalahannya adalah pemaknaan teroris yang dibangun oleh barat ternyata bertendensi kepada Islam, maka kemudian timbulah beberapa pertanyaan, apakah benar aksi-aksi teror yang terjadi belakangan ini dilakukan oleh kaum muslimin yang mengatasnamakan perjuangan Islam? Lalu kalau memang benar teror tersebut dilakukan oleh kaum muslimin yang mengatasnamakan perjuangan Islam, kenapa yang dirugikan oleh aksi-aksi tersebut justru umat Islam dan bahkan dakwah yang dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam menjadi tersendat karenanya? Atau jangan-jangan isu terorisme itu adalah bagaian dari proyek perang peradaban yang dilancarkan oleh barat melalui salah satu instrumennya yaitu perang pemikiran untuk mengacak-acak wala’ dan baro’ kaum muslimin. Sebagai kaum Muslimin, kita berikan kepada siapa wala’ (kesetiaan) dan baro’ (kebencian) kita?
Wallahu a'lam bish-shawab [AA]

MEMBENTUK KELUARGA ISLAMI

Episod hijrah Nabi Muhammad s.a.w dan kaum muslimin dari Mekah ke Madinah mempunyai hikmah yang bukan saja membuka jalan kepada perkembangan Islam dan mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga memberikan nafas baru dalam hubungan sesama manusia. Masyarakat Arab Jahiliyah ketika itu sangat kuat dengan semangat assabiyahnya (bangga terhadap kelompoknya) sehingga sering terjadi pertumpahan darah sesama kabilahnya. Hijrahnya Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabatnya ke Madinah yang membawa bersama akidah Islam yang suci telah membentuk cara hidup berlandaskan Islam.

Hijrah telah menukarkan prinsip amalan jahiliyah kepada ketaatan yang total kepada Islam. Hijrah Rasululullah s.a.w ini membawa dakwah Islamiah kepada tahap kedua yaitu perlaksanaan ajaran Islam sepenuhnya terutama jihad di mana sebelum itu selama tiga belas tahun di Mekah, seruan Islam lebih menekankan aspek tauhid dan keimanan kepada Allah. Tertegaknya Daulah Islamiah di Madinah adalah hasil dan berkat peristiwa hijrah ini maka bermulalah ayat-ayat al-Quran yang diturunkan selepas itu mengajar umat Islam tentang kewajiban dan tanggungjawab terhadap sesama manusia yang meliputi sistem ideologi, ekonomi, politik dan kemasyarakatan termasuk sistem kekeluargaan dalam Islam. Berdasarkan dua peringkat dakwah Islamiah ini, dapatlah diambil satu pengajaran yaitu dalam membentuk keluarga Islam, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memperkuatkan akidah dan keimanan terutama kepada pasangan yang bakal mendirikan rumahtangga.

Rumahtangga merupakan alam baru yang inheren dengan kebutuhan manusia. Kebahagiaan atau sebaliknya sangat bergantung sejauh mana persiapan pasangan itu dalam bekerjasama mewujudkan keharmonian sesama mereka. Firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 80 yang artinya,

'Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal (mendapat ketenangan di dalamnya)'

Islam telah menggariskan satu panduan hidup yang lengkap dan rapi pada segala perkara yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Keharmonisan dalam sebuah keluarga adalah faktor terpenting bagi terwujudnya sebuah tatanan masyarakat yang harmoni, bahagia dan sejahtera. Tugas setiap anggota keluarga hendaklah dilaksanakan dengan sempurna sesuai hak masing-masing. Suami mempunyai hak atas isteri dan anak-anak, demikian juga sebaliknya. Jika setiap anggota keluarga tahu hak mereka maka akan terwujud keharmonian, ketenangan dan kesejahteraan di dalam keluarga.

Karakter dan Peran Anggota Keluarga Islam
Keluarga Islam wajib menjadikan Islam sebagai panduan dan cara hidup. Syariah, akidah dan akhlak Islam hendaknya menjadi dasar hubungan dalam keluarga. Menjadi tugas dan tanggungjawab suami isteri untuk menghayati konsep al-Mawaddah dan al-Rahmah sebagaimana firman Allah s.w.t dalam surah Al-Rum ayat 21 yang artinya;

'Antara tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah s.w.t adalah dicptakannya untuk kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan antara kamu rasa kasih sayang (Al-Mawaddah) dan belas kasihan (Al-Rahmah), sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda orang-orang yang berfikir'.

Terdapat beberapa ciri yang perlu ada untuk membentuk sebuah keluarga Islami, diantaranya bertakwa, bekerjasama, saling memahami, sayang menyayangi dan bertanggungjawab. Konsep ketakwaan kepada Allah s.w.t harus dititikberatkan dalam setiap anggota keluarga yaitu taat kepada segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah s.w.t. Sholat lima waktu contohnya, tidak boleh diabaikan oleh setiap anggota keluarga. Anak-anak yang masih kecil seharusnya dididik mengerjakan ssholat supaya apabila dewasa nanti mereka memahami bahwa itu adalah kewajiban bagi setiap umat Islam. Rasulullah s.a.w bersabda yang artinya,

'Suruhlah anak-anak kamu mendirikan solat ketika umur mereka 7 tahun dan pukullah mereka ketika berumur 10 tahun sekiranya mereka enggan; dan pisahkan tempat tidur mereka.'

(Riwayat Al-Hakim dan Abu Daud)

Untuk membentuk keluarga Islami, kita perlu berhijrah dengan menjadikan rumah sebagai ‘syurga’ yaitu tempat yang penuh dengan ketenangan, kenikmatan dan kebahagiaan. Ini dapat dicapai dengan mengerjakan sholat berjamaah sekeluarga dan membaca al-Quran atau bertadarus bersama-sama. Membaca buku agama di rumah beramai-ramai juga merupakan amalan yang baik bagi rumahtangga karena secara tidak langsung dapat menambah dan meluaskan ilmu pengetahuan anggota keluarga.

Amalan-amalan tersebut selain mempunyai faedah yang besar, ia dapat mendidik anak-anak menghayati budaya keluarga Islam yang mulia. Ia juga dapat menghindarkan keluarga terjerumus ke dalam maksiat dan kemungkaran.

Oleh karena itu, setiap lelaki muslim sebelum melangkahkan kaki ke alam perkawinan dan menjadi kepala keluarga, adalah menjadi satu kewajiban melengkapi dirinya dengan berbagai ilmu terutama ilmu-ilmu agama sebagai persiapan membina keluarga Islami. Firman Allah dalam surah An-Nisa’ ayat 34 yang artinya;

'Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (lelaki) telah belanjakan sebagian dari harta benda mereka.'

Sebagai kepala keluarga, suamilah yang memberi warna kehidupan sebuah keluarga. Jika keluarga diwarnai dengan kehidupan ala barat, maka begitulah jadinya. Tetapi jika suami mempunyai kesedaran Islam, sudah pasti akan terdidiklah anggota keluarga mereka dengan syariat Islam yang benar. Anak-anak lahir dalam keadaan suci bersih maka ibu bapaknyalah yang akan memberikan warna kehidupan anak mereka. Sabda Rasulullah s.a.w yang artinya,

'Tiap-tiap anak dilahirkan dalam fitrah (suci bersih), maka kedua ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi'

(Riwayat Bukhari)

Isteri berperan membantu suami mencapai keharmonisan rumahtangga yang dibina. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasai,

'Sebaik-baik isteri adalah menggembirakan suami apabila dilihat, apabila suami memerintah dia patuh dan apabila suami tidak ada di sisinya dia menjaga kehormatan dan harta kepunyaan suaminya'.

Islam telah memberi garis panduan yang jelas mengenai ketaatan seorang isteri kepada suaminya yaitu bukan pada perkara yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Isteri memiliki kelebihan dan potensi yang tidak ada pada suami. Kelembutan, penyayang dan penyabar merupakan ciri terpenting dalam mendidik anak-anak dan pasangan hidup yang sempurna. Oleh sebab itu, isteri memainkan peranan membina keluarga Islami dengan tidak meletakkan tanggungjawab sepenuhnya kepada suami. Maka sewajarnyalah si isteri berhijrah menjadi isteri yang solehah, berperan aktif dan bersama-sama dalam membina keluarga Islam yang sebenarnya.

Jika suasana rumahtangga mulai hambar, masing-masing perlu segera memainkan peranan untuk memperbaikinya. Ini karena keluarga Islam adalah berasaskan pada keharmonisan hubungan suami isteri itu sendiri.

Untuk mengatasi masalah atau perselisihan, suami isteri perlu bekerjasama dan saling berbincang tentang hal-hal yang berkaitan dengan urusan rumahtangga, pendidikan anak-anak maupun keuangan.

Mereka seharusnya bekerjasama dan bersabar dalam membina kerukunan rumahtangga. Suami isteri harus bijak dan saling bertoleransi antara satu sama lain karena hasil yang baik tidak mungkin dapat capai tanpa usaha yang sungguh-sungguh dan bersusah payah terlebih dahulu.

Suami seharusnya menyadari tentang beban pasangannya. Dia harus bersikap belas kasih karena banyak perkara yang telah isteri lakukan seperti menjaga kebajikan suami dan anak-anak, pendidikan anak-anak, urusan rumahtangga dan keperluan dirinya sendiri. Sebaliknya isteri tidak seharusnya mementingkan diri sendiri tetapi turut membantu beban yang ditanggung oleh suami dalam meningkatkan ekonomi keluarga. Jelas di sini bahwa seisi keluarga harus saling memahami masalah dan beban tugas masing-masing dalam pekerjaan, rumahtangga dan pendidikan anak-anak. Di samping itu, beban ini menimbulkan berbagai emosi yang positif dan negatif. Untuk mengekalkan keharmonisan dalam keluarga, masing-masing perlu berperan menjaga emosi pasangannya.

Firman Allah dalam surah At-Tahrim ayat 6;

'Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka'

Berdasarkan ayat ini, ternyata suami isteri bertanggungjawab untuk berusaha mendidik anak-anak sejak dari kecil dengan asas keimanan yaitu prinsip-prinsip agama yang luhur. Mereka juga perlu mengimbangi pendidikan yang diterima oleh anak-anak dengan memberi pendidikan akademik, jasmani, akal, kejiwaan dan kemasyarakatan.
Ibu dan bapak perlu bersama-sama melibatkan diri dalam pendidikan anak-anak. Sikap meletakkan tanggungjawab sepenuhnya kepada guru dan para pendidik dalam urusan pendidikan anak harus diubah. Karena anak-anak juga terbentuk dan terdidik oleh pengaruh lingkungannya. Sedangkan keluarga adalah lingkungan dimana anak menghabiskan sebagian besar hidupnya

Keluarga Islami memerlukan anak-anak yang terdidik dengan sifat kasih sayang, penuh ketaatan dan rasa tanggungjawab. Anak merupakan amanah Allah s.w.t kepada hamba-hamba-Nya. Kelahirannya seumpama kain putih bersih dari noda dan kekotoran duniawi. Justeru, yang memberikan warna-warnanya adalah ibu bapak sendiri. Anak memainkan peranan yang penting untuk menjadikan suasana yang harmoni dalam keluarga. Ibu bapak perlu memberi didikan yang sempurna kepada anak-anaknya dengan ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi. Dengan didikan yang sempurna ini, anak-anak dapat memikirkan hal yang baik dan buruk, seterusnya mentaati bapak ibunya yang melahirkannya ke dunia. Taat kepada ibu bapak ini bukanlah taat kepada hal yang mungkar seperti meninggalkan sholat, puasa dan lain-lain, tetapi ketaatan seorang anak itu adalah diatas perkara yang makruf dan yang diridhai Allah s.w.t. Perlu diingat bahwa seorang anak tidak boleh berlaku kasar atau menzalimi kedua ibu bapaknya sekalipun sekedar menyebut perkataan ‘ah’ karena hal itu sudah dianggap durhaka dan berdosa besar.

Menuntut ilmu perlu dilakukan oleh setiap anak dari keluarga yang Islami. Ilmu yang perlu dituntut bukan hanya ilmu keduniaan seperti sains dan matematik, tetapi juga ilmu akhirat seperti akidah, ilmu fiqih, akhlaq dan sebagainya. Anak-anak yang memperoleh kedua ilmu itu nantinya dapat menyeimbangkan antara ibadah dan muamalah supaya antara keduanya tidak diabaikan.

Anak-anak yang soleh adalah anak yang senantiasa mendoakan kebaikan kepada ibu bapak baik yang masih hidup atau sudah mati. Rasulullah s.a.w pernah bersabda bahwa apabila mati anak Adam maka terputus amal ibadahnya kecuali tiga hal, pertama : ilmu yang bermanfaat, kedua : sedekah jariah dan ketiga : doa anak-anak yang soleh. Jelaslah bahwa peranan anak soleh yang mendoakan kesejahteraan ibu bapaknya sangat penting untuk menjamin ibu bapaknya senantiasa hidup bahagia, sejahtera dan diridhai Allah s.w.t di dunia dan akhirat.

Satu lagi perana seorang anak untuk mewujudkan keluarga Islami ialah menjaga nama baik keluarga. Anak yang soleh adalah anak yang senantiasa berkelakuan baik walau di mana saja dia berada. Apa yang dilakukan adalah berlandaskan ajaran Islam yang suci dalam bidang apapun yang diceburi. Anak-anak yang soleh tidak mudah terjebak ke lembah kehinaan seperti penyalahgunaan narkoba, seks bebas dan sebagainya yang menjadi aib bagi ibu bapak dan keluarganya apatah lagi mengganggu keharmonisan hidup bermasyarakat.

Peran Sosial Keluarga Islam
Keluarga Islami bukan hanya diperoleh dari hubungan antara anggota keluarga saja tetapi juga hubungan dengan tetangga disekelilingnya. Hubungan bertetangga yang baik dapat diwujudkan berawal dari sikap saling menghormati antara satu sama lain. Keluarga Islami bukan saja mewujudkan suasana yang harmoni di dalam keluarga tetapi keharmonisan tersebut dapat ditularkan kepada tetangganya. Sikap dan amalan yang negatif seperti mengumpat, hasad dengki, menyakiti, menabur fitnah, mementingkan diri sendiri, kikir dan sebagainya, tidak ada dalam kamus keluarga Islam. Setiap anggota keluarga sama-sama bertanggungjawab mewujudkan suasana harmoni dalam bertetangga.

Secara umum dapatlah ditegaskan di sini bahwa institusi keluarga merupakan unit masyarakat yang paling kecil yang menjadi titik tolak ke arah pembentukan sebuah masyarakat yang lebih besar dan seterusnya membentuk sebuah negara. Mendirikan rumahtangga atau membentuk sebuah keluarga Islami merupakan satu tuntutan Islam dan sempurnanya separuh agama.

Keluarga Islam hendaknya dapat memberikan teladan yang sempurna bagi masyarakat disekelilingnya dan berusaha mengajak masyarakatnya menjadi masyarakat yang peduli terhadap kondisi sosialnya.

Wallohu a’lam bish-showaab. [SY]