Lembar Dakwah LABBAIK

Wednesday, September 27, 2006

Menuju Islam Kaffah

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 208)


Cobalah sekali waktu anda melakukan sebuah perjalanan dan bawalah buku catatan dari satu tempat ke tempat yang lain, lakukanlah pengamatan. Mulai dari rumah, kantor, jalan, sekolah, pasar, lapangan, warung, pertokoan, supermarket, sampai terminal. Adakan juga perjalanan di desa, kota, kompleks perumahan, asrama, sawah, kebun, di proyek-proyek pembangunan, dan di mana saja. Kemudian berhentilah di masjid untuk istirahat, shalat, berdoa, dan merenung. Untuk apa?

Catat apa yang anda temui dalam perjalanan tadi, dan renungkanlah! Apa yang tengah terjadi di tengah ummat kita, ummat yang mayoritas muslim? Apa yang mereka lakukan dalam kehidupannya? Apa yang mereka lakukan untuk diri mereka sendiri, untuk teman mereka, atau untuk keluarga mereka? Lalu, apakah mereka menyisakan waktu untuk Allah Rabb mereka, untuk Rasul yang sering dipuji-puji dalam shalawat? Dan terakhir, apa yang telah mereka (dan juga kita tentunya) lakukan untuk Islam? Sungguh sangat sedikit!

Lalu kumpulkan catatan itu, niscaya akan anda dapati bahwa ummat ini begitu jauh dari Islam. Islam tidak lagi dijadikan sebagai panduan, dan tidak lagi dijadikan rujukan. Bahkan sering kita jumpai orang yang memiliki nama Islami pun bukan lagi jadi jaminan bahwa perilakunya Islami pula.

Di mana-mana kita saksikan wanita-wanita mengumbar auratnya sedemikian bebasnya. Laki-laki nakal semakin senang dan bersemangat karena punya tontonan dan mainan gratis. Mereka bisa mencuci mata dengan kemaksiatan sepuas-puasnya. Sementara sang wanita secara tidak sadar – atau mungkin malah bangga – bahwa dirinya tengah menjadi obyek dan incaran kemaksiatan, perkosaan, bahkan perampokan.

Anak-anak kecil, anak muda, orang tua, kakek-nenek, semua tengah asyik dengan dunianya masing-masing. Mereka tidak tahu atau malah tidak mau tahu bahwa setelah kehidupan dunia ini akan ada pertanggungjawaban, ada hari akhirat sebagai perhitungan dan pembalasan. Sebagai seorang muslim hendaknya kita tidak membiarkan mereka terjerumus dalam dosa dan kemaksiatan, sebab manakala kita tidak peduli, yang menanggung akibatnya bukan hanya mereka tetapi kita semua akan kena getahnya.

“Dan peliharalah dirimu dari fitnah yang tidak hanya ditimpakan pada orang-orang dzalim di antara kamu (saja)!” (QS. al-Anfal: 25)



Tahapan menuju Islam Kaffah.

Islam adalah sebuah ajaran (dien) yang merupakan sistem kehidupan (minhajul hayah) mencakup perikehidupan manusia secara utuh dan menyeluruh. Kesempurnaan Islam yang demikian luas tak dapat dipahami hanya dalam waktu singkat, tetapi membutuhkan tahapan, kesungguhan, interaksi, pelaksanaan, kontinuitas, sebagaimana manusia bergaul dan beramal dengan sebuah nilai kehidupan yang diyakininya. Semuanya butuh pemahaman, penajaman keyakinan, penghayatan, pengamalan, dan penyebarluasan (dakwah).

Sesungguhnya Islam itu syumul (universal) yang meliputi semua zaman, kehidupan, dan eksistensi (keberadaan) manusia. Risalah Islam adalah risalah yang panjang terbentang mencakup semua cakrawala ummat, begitu mendalam dan mendetail memuat urusan-urusan dunia dan akhirat.

Berikut ini adalah beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam memahami Islam secara totalitas atau menyeluruh, yaitu :

1. Memahami sumber-sumber hukum yang asasi dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah.

Rasulullah SAW. bersabda, “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang apabila berpegang kepadanya niscaya tidak akan tersesat selamanya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah.”

Al-Qur’an diturunkan sebagai penyadaran bagi ummat bahwa al-Qur’an adalah petunjuk yang sempurna dan paripurna bagi orang-orang yang bertaqwa (al-Baqarah ayat 2). Sebagai petunjuk kehidupan, mestinya kita jadikan al-Qur’an sebagai pengarah langkah kehidupan kita, pijakan setiap amal kita, parameter serta barometer segala kehidupan kita. Karena Allah telah menegaskan bahwa petunjuk al-Qur’an-lah yang paling terjamin kesempurnaannya (mengatur masalah syariat dan tatacara pelaksanaannya (al-Maidah ayat 48 dan 50) maupun kemurnian (asholah dan orisinalitas) ajarannya (al-Hijr ayat 9).

Sebagai tuntunan bagi manusia, Allah mengutus Rasulullah Muhammad SAW sebagai penyampai risalah al-Qur’an kepada seluruh ummat manusia. Lewat Sunnah Rasulullah inilah kemudian kita mendapatkan contoh aplikasi yang nyata terhadap pelaksanaan al-Qur’an.

“Sesungguhnya telah ada dalam (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah, dan kedatangan hari akhir, dan banyak menyebut asma Allah.” (QS. al-Ahzab ayat 21)

2. Memahami cara berfikir menurut Islam, yang dikenal dengan fikrul Islam.

Fikrul Islam adalah pemikiran yang dihasilkan oleh orang-orang yang bertaqwa dan bersumber dari nilai-nilai ajaran agama Islam. Seorang yang telah memahami Islam hendaknya menjadikan Islam sebagai rujukan pemikirannya. Dalam memandang setiap permasalahan yang terjadi di muka bumi ini, orang mukmin senantiasa mengaca dan mengembalikan permasalahan yang ada kepada Islam (Qur’an dan Sunnah).

Sebagai ajaran yang sempurna Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, mulai urusan yang terkecil sampai urusan yang besar. Imam Syahid Hasal al-Banna (ulama dari Mesir) mengatakan, ”Islam adalah perpaduan antara agama dan Negara, mushaf dan pedang, ibadah dan muamalah, pendidikan dan akhlaq, politik dan ekonomi, sosial dan peradilan, serta segala aspek yang ada di dunia ini.” Dengan demikian fikrul Islam menolak sekularisme (memisahkan urusan agama dengan negara). Semua urusan di dunia ini, apakah itu hanya terkait dengan urusan privat (individu) ataupun urusan publik maka kita harus menempatkan ajaran Islam sebagai pedoman.

3. Memahami cara pembentukan kepribadian Islami (Syakhsiyah Islamiyah), dengan kaidah, cara, dan aspek-aspek yang terkait di dalamnya.

Permasalahan yang paling mengemuka di dalam tubuh ummat Islam akhir-akhir ini adalah bahwa seorang muslim kehilangan identitas jati dirinya. Pengaruh budaya barat demikian deras menghantam perikehidupan ummat Islam Indonesia. Propaganda dilakukan dengan berbagai media. Televisi, radio, internet, koran, majalah, dan media massa lain begitu menjamur penuh dengan sajian budaya materialis yang mengajak manusia untuk hanya mementingkan kehidupan dunia saja. Kenyataan ini hendaknya menyadarkan kita bahwa jalan untuk menuju Islam yang Kaffah (menyeluruh) tidak lain dan tidak bukan adalah membentengi diri dari pengaruh-pengaruh negatif budaya barat tersebut. Dengan kata lain bagaimana kita berupaya untuk membentuk karakter dalam diri seorang muslim menjadi Syakhsiyah Islamiyah (pribadi yang Islami).

Tarbiyah Islamiyah (pendidikan Islam) adalah kunci dari terbentuknya kepribadian yang Islami. Dimulai dengan membangun kesadaran posisi manusia sebagai hamba Allah (adz-Dzariyat ayat 56) yang punya tugas mencari bekal untuk akhirat, ditindaklanjuti dengan pengokohan aqidah, akhlaq, dan cara bermasyarakat (muamalah). Pada tahap selanjutnya, Tarbiyah Islamiyah mengarahkan manusia untuk dapat berkontribusi sebanyak mungkin bagi kehidupan manusia. ”Sebaik-baik kalian adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain” (Al Hadits).

4. Memahami cara menyucikan jiwa.

Hal ini menjadi penting agar seorang muslim dalam berinteraksi terhadap Islam bukan sebatas pada konsep nilai, pemikiran, perasaan dan emosi semata. Akan tetapi juga harus diamalkan dan membawa pengaruh dalam kehidupan. Setiap orang beriman mengalami fluktuasi (naik-turunnya) nilai keimanan sesuai dengan kadar masing-masing. Dalam berhubungan dengan manusia yang lain akan terjadi berbagai macam gesekan pemikiran dan kepentingan karena manusia memang diciptakan dengan beragam. Gesekan-gesekan inilah yang menyebabkan kondisi keimanan seseorang tidak stabil. Rasulullah mengistilahkan keimanan yang kuat dengan ”sa’atan-sa’atan” (ada saat-saatnya). Oleh sebab itu orang mukmin harus memahami cara menyucikan jiwa mereka agar ketika terjadi penurunan keimanan segera dapat mengobatinya. Penyucian jiwa ini dapat dilakukan dengan i’tikaf (berdiam diri di masjid), tafakur (merenungi kebesaran ciptaan Allah), membaca sirah (sejarah) Nabi dan Sahabat serta banyak cara yang dapat dilakukan agar tersadar dari kelalaian beribadah kepada Allah SWT.

Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam menyucikan jiwa adalah: Pertama, bersegera kepada kebenaran. Yakni dengan senantiasa menyambut berbagai syiar dan seruan kebenaran dengan sambutan sami’na wa atho’na, kami dengar dan kami taati (az-Zumar 18, al- Ahzab: 36). Sebagai contoh adalah kesigapan para sahabat Rasul menyambut larangan minum khamr. Mereka segera menghancurkan gentong-gentong minuman keras mereka, sehingga Madinah banjir khamr.

Kedua, cinta kebenaran dan berlapang dada untuk Islam. Artinya ia siap mengorbankan segala kesenangan pribadi dan egonya untuk mengamalkan Islam, tanpa ada tawar-menawar (al-An’am ayat 125). Ketiga, menyambut seruan keimanan. Dengan menggunakan segala waktu dan kesempatan yang dimiliki untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT (ali-‘Imran ayat 193). Rasulullah bersabda, ”Di antara kebaikan Islamnya seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak berguna baginya.” (HR. Muslim)

Keempat, banyak berdzikir. Yakni mewarnai kehidupan dengan banyak mengingat Allah, saat beramal diawali dengan asma Allah, merasa diawasi Allah, dan mengakhiri amal perbuatan dengan menyebut asma Allah.

Kelima, menindaklanjuti keyakinan dengan amal shalih. Tidak berhenti pada konsep tetapi membuahkan amal nyata. Syahadat diikuti dengan shalat, nilai-nilai shalat diwujudkan dengan meninggalkan perbuatan keji dan mungkar, menegakkan jiwa disiplin. Puasa mendidik jiwa sabar dan istiqomah direalisasi dalam kehidupan. Zakat diwujudkan dengan kepedulian sosial terhadap kerabat, tetangga, masyarakat, maupun ummat secara keseluruhan. Nilai haji diwujudkan dengan meningkatkan pengorbanan untuk tegaknya masyarakat Islam, yakni mendermakan apa yang dimilikinya di jalan Allah, baik waktu, harta, jiwa, maupun raganya untuk Islam (at-Taubah ayat:111).

Keenam, Ittiba’ (mengikuti) al-Qur’an dan Sunnah. Yakni mengembalikan segala cara kehidupan dengan Al Qur’an dan Sunnah.

5. Memahami cara menyampaikan Islam (dakwah) kepada masyarakat.

Dimulai dengan mendakwahkan Islam pada masyarakat terkecil, yaitu keluarga. Setelah itu mendakwahkan Islam pada lingkungan sekitar, masyarakat luas, bangsa, hingga akhirnya menyebar luas secara internasional ke seluruh dunia. Juga secara konkret memahami bahwasanya dakwah adalah untuk seluruh manusia, yaitu saya, anda, dan mereka. Kitapun harus memahami metode yang paling tepat dalam menyampaikan seruan Islam kepada khalayak. Islam yang sempurna tentunya harus disampaikan secara utuh dan sempurna pula, tidak hanya sebagian-sebagian saja yang menjadi fokus garapan dan meninggalkan sebagian yang lain. Hal ini tentunya disampaikan dengan cara yang lembut dan menyentuh hati jauh dari sikap pemaksaan. Karena memang sejatinya tidak ada pemaksaan dalam Islam (al-Baqarah ayat 256).

Nah, dari sini jelas bahwa berhasil tidaknya dalam meninggikan kejayaan Islam terletak pada upaya kita dalam mengkaji Islam secara totalitas. Proses ini secara sunnatullah harus ditempuh oleh setiap muslim sebagai proses belajar yang berkesinambungan, yaitu menggali ilmu yang bermanfaat sepanjang hayat.

Ilmu, menurut Said bin Ali al-Qahthani, merupakan sendi terpenting dari hikmah. Oleh sebab itu Allah memerintahkan manusia agar mencari ilmu dan berilmu sebelum berkata dan beramal. Firman Allah, ”Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah dan mohonlah ampun bagi dosamu serta bagi orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (QS. Muhammad: 19)

Imam Bukhari rahimahullah membicarakan masalah ini dalam bab khusus, yakni ”ilmu sebelum berkata dan beramal”. Sehubungan dengan ini Allah memerintahkan Nabi-Nya dengan dua hal yaitu berilmu lalu beramal atau berilmu sebelum beramal. Hal ini dapat kita simak dalam susunan ayat di atas, yaitu ”fa’lam annahu laa ilaaha illallahu...”. maka ketahuilah bahwa tidak ada ilah selain Allah... sebagai perintah untuk berilmu. Selanjutnya perintah itu diikuti dengan perintah untuk beramal, yaitu ”wastaghfir lidzambika..” dan mohonlah ampun bagi dosamu...

Semua orang dapat berkata manis. Orang yang benar adalah orang yang perkataannya manis, yang sesuai dengan perbuatannya.

Wallahu a’alam bish shawaab.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home