Lembar Dakwah LABBAIK

Tuesday, January 16, 2007

Hijrah, Momentum Kebangkitan Ummat


“Ciri khusus kebangkitan umat kontemporer adalah sebuah kebangkita yang tidak saja bermodal semangat. Palagi hanya ungkapan verbal dan slogan” (Syaikh Yusuf Al Qorodhowi)

Waktu terus berputar, musim pun berganti. Seiring tibanya bulan Muharram, kita memasuki gerbang tahun 1428 H. tentu saja ada setumpuk harapan dan impian yang menggelora di dada kita menyambut dan menyertai datangnya tahun baru hijriyah ini.

Kita berharap akan lebih terjalinnya ukhuwah islamiyah, baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional. Impian bahwa umat ini akan kembali bangkit menjadi guru dunia (ustadziyatul 'alam) yang membimbing masyarakat dunia dengan peradaban tinggi dan akhlak mulia, kembali muncul.

Sudah 26 tahun sejak 1401 Hijriah ditandaskan sebagi awal kebangkitan umat. Sudahkah umat di ambang kemenangan? Yusuf Qaradhawi, ulama Qatar yang telah menjadi milik umat Islam internasional memberikan beberapa ukuran tentang kebangkitan umat. Ia berpendapat bahwa "ciri khusus kebangkitan umat kontemporer adalah sebuah kebangkitan yang tidak saja bermodal semangat. Apalagi hanya ungkapan verbal dan slogan.

Kebangkitan yang benar adalah kebangkitan yang didasarkan pada komitmen Islam dan adab-adabnya. Bahkan pada sunah-sunnahnya pula." Ungkapan ini menantang kita umat Islam untuk benar-benar berbuat maksimal dalam merealisasikan kebangkitan Islam ke depan. Untuk itu, awal tahun baru Islam ini bisa dijadikan sebagai momentum terbaik untuk menyusun strategi yang lebih baik demi kebangkitan umat Islam.

Namun, di samping setumpuk harapan dan impian, kita juga tak boleh lupa melihat kembali catatan perjalanan masa lalu. Utamanya setahun belakangan ini. Ada sederet catatan yang mewarnai kehidupan kita sebagai umat, sepanjang tahun 1427 H yang baru saja berlalu. Ada yang manis, namun banyak pula yang pahit. Ada saat ketika kita melalui taman-taman nan indah. Namun, tak jarang kita pun harus meniti jalan yang penuh onak dan duri. Senang dan susah, pahit maupun manis, adalah catatan pengalaman hidup yang menjadi sejarah setiap orang dan setiap umat.

Kita harus berlaku jujur, catatan sejarah kita setahun terakhir ini masih bertabur luka dan berwarna kusam. Masih banyak tragedi-tragedi pilu yang menimpa negeri ini. Banjir bandang, tanah longsor, dan lain sebagainya.

Potret di negeri ini masih sangat memprihatinkan. Masih sangat banyak umat Islam yang hidupnya di bawah garis kemiskinan. Sungguh tragis, hanya demi uang 300 ribu rupiah bantuan tunai langsung dari pemerintah masyarakat kita harus rela berdesak-desakkan bahkan sampai ada yang meregang nyawa karena terhimpit dan kepanasan. Di sisi lain, di saat rakyat antre hanya demi 300 ribu rupiah, anggota dewanpun tidak mau ketinggalan untuk mendapatkan tunjangan yang besarnya berpuluh kali lipat dari subsidi untuk rakyat kecil. MA juga tidak mau ketinggalan dengan berbagi mobil mewah sebagai penunjang operasional kerja di tengah-tengah rakyat yang masih krisis. Potret ketidak adilan di sebuah negeri yang indah!

Bisakah kita bangkit manakala masih bertebar potret ketidakadilan di negeri ini? Kita tidak boleh pesimis dalam menghadapi kenyataan hidup ini. Berdoa dan berserah diri kepada Allah SWT sembari mempersiapkan diri untuk berusaha maksimal dan mendekatkan diri kepada sang Maha Kuasa. Khususnya umat Islam Indonesia harus bangkit menjemput fajar kebangkitan umat.



Hijrah: Kebangkitan Ummat melawan Ketidak Adilan

Kurang lebih 14 abad yang lalu (24 September 622 M), terjadi peristiwa yang dipandang sebagai momentum penting dalam sejarah umat Islam, yaitu hijrah Nabi Muhammad SAW. Hijrah dari Makkah ke Medinah bukanlah peristiwa migrasi biasa, tapi langkah strategis merealisasikan proyek raksasa dalam membangun peradaban kaum muslimin. Hijrah bukanlah masa-masa transisi yang biasa dilalui dalam rentang sejarah suatu bangsa melainkan sebuah babakan sejarah yang bernilai strategis dalam upaya mewujudkan cita-cita individual dan kolektif umat.

Secara harfiah hijrah berarti perpindahan dari satu negeri ke negeri lain, dari satu kawasan ke kawasan yang lain, atau perubahan lokasi dari titik tertentu menuju ke titik yang lain. Secara historis hijrah bermakna keberangkatan Rasulullah SAW dengan sahabatnya dari Makkah ke Yastrib yang kemudian disebut al-Madinah al-Munawwarah.

Selanjutnya hijrah diberi makna etis-religius yang lebih universal dan bernilai kesejatian, yaitu meninggalkan tuntutan-tuntutan duniawi menuju kesalihan, kesucian, dan kemuliaan yang lebih tinggi dan sejati atau melakukan transformasi spritualitas dan segala yang bersifat maknawiyah. Untuk itu kaum muslimin memandang proses perubahan dan transformasi (taghyur dan tahawwul) dari keadaannya yang asal, baik secara ruhi maupun secara jasadi, sebagai unsur terpenting dalam hijrah. (sabili, No. 16 Th. XI 27 Februari 2004)

Hikmah Hijrah

Ada beberapa pelajaran berharga dari hijrahnya Rasulullah SAW yang bisa kita kemukakan dalam membangun kembali umat Islam ke depan, antara lain adalah:

Pertama, hijrah merupakan langkah keluar dari krisis yang mengepung dan langkah strategis menuju kepastian tegaknya Islam. Pada saat umat Islam masih minoritas, mereka dalam kondisi terkekang dan terkungkung akibat kesewenang-wenangan penduduk mayoritas. Klimaksnya adalah bagaimana mencari solusi perlindungan tempat yang aman dan leluasa untuk menjalankan syari'at Islam. Karenanya, Rasululullah SAW memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan hijrah dengan melakukan pembenahan diri dari praktik-praktik kemusyrikan. Artinya, menjaga diri agar tidak terkontaminasi oleh kaum musyrikin, baik dari menyembah berhala, berkata kotor, membunuh dan sebagainya. Hijrah ke Habsyah dan juga Madinah merupakan solusi alternatif untuk menyelamatkan akidah dari rongrongan musuh-musuh Allah.

Pada saat ini telah terjadi kemungkaran, kemaksiatan dan ketidak adilan merajalela baik di kalangan birokrasi, politisi, hartawan atau rakyat biasa. Untuk itu, hijrah merupakan langkah strategis dalam membangun kembali diri menjadi lebih islami. Hijrah yang dimaksudkan di sini bukanlah hanya sekedar bermakna hijrah fisik tetapi juga meliputi ruhani. Dalam artian, berpindah dari maksiyat ke perbuatan taat kepada Allah SWT. Hijrah seperti ini merupakan konsep perbaikan diri. Masing-masing harus memperbaiki diri: DPR perbaiki diri, MA perbaiki diri, Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota dan semuanya memperbaiki diri dengan berhijrah. Kalau masing-masing personal umat Islam telah terbaiki sikap dan prilakunya maka akan tumbuh semangat menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya. Dengan demikian, kebangkitan umat Islam akan terealisasikan.

Kedua, pentingnya sebuah pengorbanan. Ketika Rasululullah SAW. menyampaikan kepada Abu Bakar Ra. bahwa Allah SWT memerintahkannya untuk berhijrah, dan mengajak sahabat-sahabatnya untuk berhijrah bersama, Abu Bakar menangis kegirangan. Dan seketika itu juga ia membeli dua ekor unta dan menyerahkannya kepada Rasulullah SAW untuk memilih yang dikehendakinya. Terjadilah dialog berikut:
"Aku tidak akan mengendarai unta yang bukan milikku."
"Unta ini kuserahkan untukmu."
"Baiklah, tapi aku akan membayar harganya."

Setelah Abu Bakar bersikeras agar unta itu diterima sebagai hadiah, namun nabi SAW tetap menolak, Abu Bakar akhirnya setuju untuk menjualnya. Mengapa nabi SAW bersikeras untuk membelinya? Bukankah Abu Bakar sahabat beliau? Dan, bukankah sebelum ini bahkan sesudahnya Nabi SAW selalu menerima hadiah dan pemberian Abu Bakar? Di sini terdapat satu pelajaran yang sangat berharga.

Rasulullah SAW ingin mengajarkan bahwa untuk mencapai suatu usaha besar, dibutuhkan pengorbanan maksimal dari setiap orang. Beliau bermaksud berhijrah dengan segala yang dimilikinya, tenaga, pikiran dan materi bahkan dengan jiwa dan raga beliau. Dengan membayar harga unta itu, Nabi mengajarkan kepada Abu bakar dan kepada kita bahwa dalam mengabdi kepada Allah, janganlah mengabaikan sedikit pun dari kemampuan, selama kita masih memiliki kemampuan itu. Allah berfirman: "Sesungguhnya kepada Tuhanlah tempat kembali." (QS. 96:8).

Deskripsi ini mengajari kita untuk memaksimalkan setiap potensi yang ada dengan menumbuhkan semangat berkorban demi menggapai kemenangan umat Islam. Inilah secuil hikmah atau pelajaran dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam peristiwa hijrah. Bertekad dengan penuh keyakinan untuk merubah sikap menjadi lebih baik dan mengoptimalkan segenap potensi yang dilandasi oleh semangat pengorbanan demi perjuangan menuju kemenangan yaitu kebangkitan umat Islam.

Tentu masih banyak pelajaran dan hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW., sehingga wajar jika Umar bin Khattab menjadikan peristiwa tersebut sebagai awal kalender dalam Islam. Hijrah hari ini tidaklah selalu dimaknakan dengan makna fisik, tetapi lebih jauh dari itu: perpindahan dari keterbelakangan menuju kemajuan, dari keterpinggiran menuju central (pusat), dari ketertindasan menuju kemenangan. Dari ketidak adilan menuju keadilan dan kemakmuran. Saling bahu-membahu untuk menggapai kemenangan umat Islam adalah mutlak harus kita lakukan di tahun 1427 Hijriah ini.

Wallahu a'lam bish-shawab. [SY]

MARI BERBICARA TENTANG CINTA


Jikalau ada sesuatu yang dikatakan paling indah membahagia yang dirasakan seorang manusia dalam hidupnya, maka mungkin kata ini adalah yang selalu muncul terlontarkan oleh siapapun yang menjawabnya. Adalah cinta yang menjadi suatu tema yang senantiasa mengiringi roda hidup sejarah manusia, dari awal dunia dicipta, hingga nanti saat dimana hari kiamat tiba. Bisa dibilang, cinta adalah ruh kehidupan manusia. Tanpanya, hidup seakan hampa tiada makna. Bukan kehidupan namanya jika tidak menyelipkan kata ini menjadi salah satu sub tema dalam setiap persoalan yang pernah dihadapi oleh siapapun manusia.

Cinta memang suatu kata yang tidak pernah basi untuk dibicarakan oleh siapapun, dalam saat kapanpun, dan di tempat manapun. Ia menjadi isu yang universal yang pernah dirasakan oleh setiap manusia normal yang pernah hidup di alam dunia ini. Hal itu karena cinta adalah sebuah fitrah, suatu ciri dari tabiat seorang manusia. Bilapun ada seseorang yang mengklaim bahwa ia tidak pernah jatuh cinta, maka kita boleh curiga akan hakikat kemanusiaannya.

Allah Ta’ala telah sempurna ketika mencipta alam ini, tiada secuilpun kekurangan ketika Ia mencipta bumi dan langit dunia dalam enam masa (QS.7:54). Oleh karena itu, Dia juga menciptakan cinta di alam manusia, sesuatu yang menandakan bukti kesempurnaan penciptaan oleh yang Maha Sempurna dalam mencipta alam semesta. Allah Ta’ala menghadirkan cinta sebagai suatu sarana bagi seorang manusia untuk mendapatkan bahagia. Ia juga menjadikan cinta sebagai salah satu unsur dalam beribadah kepada-Nya.

Beberapa ahli sastra mengatakan sesuatu tentang cinta, bahwa ia menjadikan pengecut menjadi pemberani, yang bakhil jadi penderma, menjadikan si bodoh pintar, memfasihkan lidah yang kelu, mempertajam pena bagi si pengarang, menguatkan si lemah dan melemahkan seorang yang kuat, mendatangkan kegembiraan di dalam jiwa dan kesenangan di dalam hati. Dan, mungkin sudah tidak lagi terhitung ungkapan-ungkapan semakna yang pernah dilontarkan oleh para ahli sastra dan siapapun manusia demi mengapresiasikan apa yang mereka fahami dari sebuah kata sederhana, cinta.

Cinta…, mungkin ia mirip sebuah senjata superdahsyat yang sanggup untuk merubah sesuatu yang mungkin tidak pernah terpikirkan untuk dapat dirubah sebelumnya. seperti yang diungkap oleh para sastrawan di atas, karena cinta-lah sesosok manusia dapat berubah 180 derajat dalam hidup dan kehidupannya.

Cinta merupakan salah satu landasan hidup dan pijakan gerak seorang anak manusia. Oleh karenanya kita diajarkan bahwa cinta menjadi salah satu asas dalam aqidah kita sebagai seorang muslim. Hingga kita mengenal salah satu kategori syirik kepada Allah Ta’ala adalah syirkul mahabbah, syirik cinta. Kita memahami bahwa cinta dalam pandangan kita adalah cinta yang pertama dan utama yang ditujukan hanya kepada Allah Ta’ala semata, dan cinta kepada selainnya adalah cinta yang tidak boleh keluar dari bingkai cinta kepada Dia yang kita sembah dengan segala ke-Maha Sempurnaan-Nya dalam segala wujud penciptaan. Dan manakala prinsip cinta yang sudah digariskan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tersebut kita langgar, sudah menunggu di alam neraka siksaan yang menjadi ganjaran oleh karena kesalahan kita terhadap pemaknaan dan penempatan prioritas cinta ketika kita hidup di dunia.

Cinta kepada Allah Ta’ala adalah salah satu unsur dalam beribadah, dan ia menjadi sifat wajib yang mesti ada dan dimiliki oleh setiap hamba. Sebagaimana apa yang difirmankan Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqoroh ayat 165:

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah Ta’ala; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah Ta’ala. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah Ta’ala”.

Dalam ayat tersebut Allah Ta’ala mencirikan secara tegas sebuah karakter dari seorang mu’min dalam mengaplikasikan fitrah cinta, setelah sebelumnya Allah Ta’ala menjelaskan bahwa ada makna kesepadanan antara aktifitas penyembahan kepada-Nya, dengan kedudukan penyaluran rasa cinta. Secara singkat mungkin ayat ini dapat dibahasakan bahwa menyembah adalah mencinta, oleh karena itu seorang beriman hanya menempatkan cinta kepada Allah Ta’ala sebagai cinta pertama dan utama, sebelum cinta-cinta kepada yang lainnya. Artinya, cinta adalah salah satu asas dalam beraqidah. Bilamana dalam hal ini kita tersalah, maka akan suramlah nasib seorang manusia, baik itu di dunia, terlebih di akhirat sana. Mengenai hal ini, Allah Ta’ala pun telah mencontohkan, bagaimana dunia dengan segala perhiasannya kadangkala mampu menyesatkan kita akan kaidah dalam memprioritaskan cinta. Dalam Qur’an Surat At-Taubah ayat 24 Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: "jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah Ta’ala mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah Ta’ala tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”.

Coba kita perhatikan ayat ini. Segala hal yang dapat memalingkan cinta kita kepada Allah Ta’ala telah disebutkan. Secara garis besar Allah Ta’ala membagi menjadi dua kecintaan, yaitu kecintaan yang berlebihan kepada keluarga, dan kecintaan yang berlebihan kepada harta. Kedua cinta ini yang memang biasanya dapat memerosokkan seorang hamba ke lembah kesesatan. Atau, kedua cinta ini yang juga sering menjadi tandingan kecintaan kepada Allah Ta’ala. Seperti kisah seorang anak dari khalifah Abu Bakar Ash-shiddiq yang bernama Abdurrahman. Ia memiliki istri yang cantik jelita, yang karenanya, Abdurrahman pernah telat untuk datang menghadiri sholat berjama’ah di masjid. Abu Bakar merasa khawatir terhadap anaknya ini. Lalu ia perintahkan anaknya itu untuk menceraikan istrinya. Sebagai anak yang sangat berbakti, Abdurrahman pun menuruti perintah sang ayah, walaupun ada rasa nelangsa di ufuk dada yang terlukis dalam bait kata-kata:

Demi Allah, tidaklah aku melupakanmu
Walau mentari kan terbit meninggi
Dan tidaklah terurai air mata merpati itu
Kecuali berbagi hati
Tak pernah kudapatiorang sepertiku
Menceraikan orang seperti dia
Dan tidaklah orang seperti dia
Dithalaq karena dosanya
Dia berakhlak mulia
Beragama, dan bernabikan Muhammad
Berbudi perkerti tinggi
Bersifat pemalu, dan halus tutur katanya

Mendengar itu, luluh kemudian hati sang Ayah. Maka diizinkanlah mereka rujuk kembali. Tidak berapa lama setelah itu, Abdurrahman pun membuktikan ketinggian cintanya. Dalam sebuah seruan jihad ia memenuhinya, dan ia syahid di medannya sebagai seorang syuhada. Ia telah benar-benar membuktikan kesucian dan ketinggian cintanya kepada Allah Subhaana wa Ta’ala.

Kisah di atas memang terkesan terlalu tinggi bagi kita. Tapi paling tidak ada sebuah pelajaran agung tentang cinta yang dapat kita ambil hikmahnya. Betapa seorang Abu bakar merasa khawatir kalau kecintaan Abdurrahman terhadap istrinya tumbuh berkembang menjadi tidak sehat, yaitu kecintaan yang mengalahkan cintanya kepada Allah Ta’ala. Dari kisah inipun kita dapat menarik pelajaran lain. Bahwa cinta yang diikat dengan halalan thoyyiban dalam mahligai pernikahan pun kadangkala dapat menjadi batu ujian bagi dua orang hamba dalam meraih ridho-Nya. Lalu bagaimana dengan kisah cinta remaja dan pemuda zaman sekarang yang sudah sangat menggejala, sehingga apa yang mereka sebut dengan pacaran itu tidak jarang menjadi penyebab mereka melakukan perbuatan berzina. Padahal dalam sebuah ayat dikatakan bahwa mendekati zina saja kita sudah dilarang.

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk”(QS.Al-Isro:32)

Maka menjadi sebuah peringatan bagi kita semua. Ada aturan dalam Islam yang mengajarkan tentang cinta. Pun, ada etika dalam Islam yang mengatur tentang bagaimana kita berinteraksi dengan sesama, khususnya yang berkenaan dengan hubungan kecendrungan rasa dengan seseorang di kehidupan kita, terutama bagi para pemuda yang belum memiliki keinginan untuk segera menggenapkan separuh agama. Pacaran, dengan segala aktivitasnya adalah termasuk ke dalam perbuatan “mendekati zina”. Maka untuk mendekatinya saja dilarang, apatah lagi jika melakukannya.

PENUTUP

Menjadi suatu hal yang wajib kita fahami dari agama Islam ini adalah kemenyeluruhan dalam ajarannya. Sehingga tidak ada secuilpun dimensi aktifitas yang itu tidak luput dari pengaturan Islam, apalagi ajaran Islam tentang cinta. Fitrah cinta dan kecendrungan rasa menjadi suatu hal yang sangat manusiawi yang pasti dirasakan oleh setiap manusia. Bagi agama ini, cinta menjadi suatu persoalan agung yang benar-benar di perhatikan. Karena ia menjadi salah satu pilar dari sesuatu yang paling mendasar dalam bangunan agama. Ia merupakan salah satu unsur dalam ibadah, sekaligus menjadi asas dalam beraqidah. Maka menjadi bukti kesempurnaan iman seseorang adalah kemengertiannya dan kelurusannya dalam mengaplikasikan fitrah cinta. Sekalipun jangan sampai terjadi kita terjerembab dalam kubangan kesesatan yang disebabkan oleh kesalahan kita dalam menyalurkan rasa cinta. Karena jika saja itu sampai terjadi pada diri kita, maka bersiap saja dihampiri oleh rasa sengsara yang tiada batasnya, hanya karena cinta yang tidak kita sanggup untuk mengaturnya.
Wallahu a’lam bish showwab. [AF]


DI BALIK PERAYAAN TAHUN BARU


Tidak cuma ganti kalender secara massal, akhir tahun juga selalu diwarnai berbagai tradisi. Di stasiun tv, ada tayangan kaleidoskop yang mengulas peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam satu tahun yang akan ditinggalkan. Dukun dan paranormal banyak disantroni untuk dapetin ramalan jodoh, rizki, musibah, atau peruntungannya di tahun depan. Para desainer pakaian, penata rambut, atau produsen kosmetik juga udah siap me-launching produk-produk terbarunya untuk dipopulerkan di tahun mendatang.

Tapi semuanya kalah dibanding tradisi perayaan tahun baru. Sudah harga mati kalau peristiwa istimewa ini tidak boleh lewat tanpa dirayakan dengan heebooooh! Buat remaja, terasa garing binti kering-kerontang kalau malam tahun baru tidak ada acara arak-arakan di jalan raya. Baik dengan jalan kaki atau pake kendaraan bermotor sambil bakar petasan dan kembang api, niup terompet, metik gitar, dan menabuh gendang.

Tiap stasiun televisi jauh-jauh hari udah wanti-wanti bakal ngegelar acara spesial dalam rangka menyambut tahun baru. Musik, dance, kuis, games, semuanya digelar hingga larut malam. Puncak kemeriahan terjadi pada saat perhitungan mundur menjelang detik-detik pergantian tahun sebelum jarum jam menunjukkan pukul 00.00 (tahun baru) Tanpa dikomando, penonton di studio maupun pemirsa di rumah serempak meniup terompet. Di jalan raya, raungan keras dari knalpot dan teriakan klakson kendaraan bermotor memecah kesunyian malam. Nyala kembang api dalam berbagai warna menerangi gelapnya langit dan makin menambah kemeriahan dan semaraknya suasana. Kemudian berlanjut dengan pemberian ucapan selamat tahun baru, sun pipi kiri-kanan dan tukar-menukar kado dalam iringan musik yang hingar-bingar.

Tradisi Perayaan Tahun Baru Masehi

Ternyata perayaan tahun baru tidak cuma sebatas merengkuh kebersamaan saja. Tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka terhadap dewa. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja. Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara tersebut.

Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).

Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year's Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh.

Sejarah Tahun Masehi


Di tengah gencarnya ajakan dari sana-sini untuk merayakan tahun baru, kita justru sedih. Sedih karena banyak di antara kita, khususnya remaja muslim, tidak tahu kalau perayaan tahun baru merupakan bagian dari hari suci umat Kristen. Seperti yang tercantum dalam pernyataan dari kedubes AS perihal sejarah dan perayaan tahun baru.

Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, tanggal 1 Januari dirayakan sebagai hari tahun baru. Tepatnya tanggal 1 Januari tahun 45 Sebelum Masehi (SM). Tak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, dia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ke-7 SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, ahli astronomi dari Aleksandria, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. ( www.irib.ir )

Sementara kalender sekarang yang banyak dicari di akhir tahun adalah Kalender Gregorian atau kalender Masehi. Kalender ini yang dinobatkan sebagai standard penghitungan hari internasional. Pada mulanya kalender ini dipakai untuk menentukan jadual kebaktian gereja-gereja Katolik dan Protestan. Termasuk untuk menentukan perayaan Paskah di seluruh dunia. (www.babadbali.com ).

Hindari Tasyabuh

Sekarang kita tahu kalau perayaan pergantian tahun merupakan tradisi yang berasal dari orang kafir. Dengan dukungan sumber informasi dunia yang mereka kuasai, mereka menyeru dan mempublikasikan hari-hari besarnya ke seluruh lapisan masyarakat serta dibuat kesan seolah-olah hal itu merupakan hari besar yang sifatnya umum, populer, tren, dan bisa diperingati oleh siapa saja. Padahal ini merupakan salah satu cara mereka untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya.

Ternyata, banyak dari kita yang tidak menyadari serangan budaya ini. Terlena oleh acara malam tahun baru yang dikemas secara apik dan menarik. Rasul dengan tegas melarang umatnya untuk meniru-niru budaya atau tradisi agama atau kepercayaan lain. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai (bertasyabuh) suatu kaum, maka ia termasuk salah seorang dari mereka.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan ath-Thabrani)

Dalam hadits lain diceritakan: ada seorang lelaki yang datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi SAW menanyakan kepadanya (yang artinya): “Apakah di sana ada berhala, dari berhala-berhala orang Jahiliyah yang disembah?” Dia menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya, “Apakah di sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari raya mereka? ”Dia menjawab, “Tidak”. Maka Nabi bersabda, “Tepatilah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam” (Hadits Riwayat Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas mengajarkan kita untuk menghindari syiar dan ibadah orang kafir baik yang berkaitan dengan tempat maupun waktu. Meski itu dalam rangka beribadah kepada Allah. Sebab hal itu sama saja turut menghidupkan syiar-syiar mereka.

Kita tidak perlu malu atau segan untuk menolak ajakan untuk hura-hura atau pesta-pora di malam tahun baru atau perayaan lainya. Di hadapan lain boleh jadi kita dianggap sombong, tidak toleran, atau malah dikira makhluk asing karena ‘beda'. Tapi di hadapan Allah, kita bisa termasuk golongan para penghuni surga. Amin.

Karena itu, mari kita sama-sama sambut kesempatan yang Allah berikan dengan memperbanyak amal saleh dan mengurangi amal salah. Kita luruskan niat dalam berperilaku semata-mata mengharap ridho Allah SWT kita ringankan langkah kaki menuju taman-taman surga tempat mengkaji, memahami, meyakini semua aturan Allah SWT kita kuatkan pijakan kaki kita di atas akidah Islam di tengah serangan budaya dan pemikiran Barat. Kita padati hari-hari kita dengan tarbiyah atau pembinaan untuk menyiapkan perbekalan dalam menghadapi masa persidangan yaumul hisab kelak.Terakhir, kita semayamkan dalam diri kita semangat perjuangan Rasulullah SAW, para shahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in, dan para mujahid di medan perang untuk mengembalikan kemuliyaan Islam wal Muslimin.

Wallohu a’lam bishshowab. [M]

UNTUKMU IBU


Hari ini, bertepatan dengan tanggal 22 Desember 2006, merupakan hari yang istimewa bagi sesosok manusia mulia dalam kehidupan kita. Tidak lain sosok itu adalah seseorang yang biasa kita panggil “Ibu”. Di hari ini, mereka merayakan hari kebesarannya di setiap tahunnya. Tanggal 22 Desember selalu menggaungkan nama mereka dalam kegaduhan isu dan gosip yang menghiasi tayangan acara di televisi maupun yang termuat di media cetak. Pun banyak juga diadakan kegiatan-kegiatan yang dipersembahkan untuk menghormati mereka dan memperingatkan akan peran dan jasa mereka yang sangat besar adanya dalam perjalanan kita, baik sebagai seorang manusia maupun sebagai sebuah bangsa.

Sejarah Hari Ibu

Kalender hari besar bangsa kita mencatat tanggal 22 Desember sebagai hari peringatan akan jasa-jasa seorang ibu. Sejarah ini bermula ketika pada tanggal tersebut di tahun 1928, diadakan kongres perempuan pejuang Indonesia yang dihadiri oleh organisasi-organisasi perempuan Indonesia. Dalam kongres perempuan Indonesia atau yang dikenal dengan Kowani yang pertama kali diadakan di Yogyakarta tersebut, kemudian disusul oleh pertemuan-pertemuan lain yang kemudian dari sana ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No.316 Tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional. Semenjak itulah kemudian kita menjadikan tanggal 22 Desember sebagai hari yang istimewa bagi kaum ibu. Berbeda dengan negara Paman Sam Amerika yang merayakan Hari Ibu pada setiap ahad pekan kedua di bulan Mei. Dari sisi perbedaan ini, minimal ada sebuah sisi positif yang sedikit meninggikan martabat kita sebagai bangsa Indonesia. Karna biasanya, bangsa kita bercorak ikut-ikutan, pun dalam perayaan hari-hari besar tertentu selalu mengekor pada perayaan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa besar dunia. Tidak cuma itu, kitapun terbiasa untuk ikut-ikutan dalam aspek lain seperti aspek ekonomi, politik, keamanan dan lain sebagainya. Dan karena itulah yang menyebabkan bangsa kita tak pernah bisa meloloskan diri dari jeratan keterhimpitan kehidupan yang terutama didasarkan oleh ketidakberdayaan perekonomian.

Perayaan Hari Ibu dalam cermin masa kini

Hari ini perayaan hari kaum ibu sudah menginjak angka yang ke-78 semenjak diadakannya kongres perempuan Indonesia di tahun 1928. Semoga selama itu kita telah benar-benar memposisikan sosok ibu dalam tempat mulia sebagaimana adanya. Dan, segala penghormatan kita kepadanya bukan sebatas kita lakukan pada hari ini saja, sedangkan hari-hari yang lain tidak. Satu hal yang menjadi ironi dalam tradisi perayaan hari ibu adalah kondisi mereka yang sampai saat ini masih memprihatinkan, baik memprihatinkan karena tidak mendapatkan penghormatan yang sempurna dari anak-anaknya dalam segala kasusnya, atau juga keprihatinan oleh karena diri mereka sendiri yang tidak menyadari posisi mereka yang sangat urgen bagi pembentukan sebuah karakter bangsa. Ada pula sebagian dari kaum ibu yang tidak mencerminkan bagaimana seharusnya mereka memerankan tugasnya. Masih banyak kita mendengar berita yang mengiris-iris nurani kita ketika ada seorang ibu yang membuang anaknya, ataupun kita juga mendapati kasus-kasus dimana seorang ibu melalaikan tugas utamanya untuk mendidik anak-anaknya menjadi anak yang baik kelak di kemudian hari. Banyak dari mereka yang kemudian berprofesi menjadi seorang wanita karier dan meninggalkan dibelakang mereka kewajiban untuk mendidik dan membesarkan anak-anak mereka sendiri. Kalangan aktivis perempuan yang katanya dalam melancarkan gerakannya bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan dengan menganjurkan kesetaraan dalam berbagai bidang hingga mereka menuntut untuk memiliki kebebasan berekspresi dan bekerja di ranah publik kemudian menyisakan suatu permasalahan baru tentang nasib masa depan anak-anak mereka. Betapa tidak, ketika mereka aktif bekerja di luaran, sementara fungsi mendidik dan membesarkan anak-anak diserahkan kepada pihak-pihak tertentu macam baby sitter ataupun pembantu rumah tangga, maka sang anak kehilangan curahan kasih sayang dari ibu mereka, sekaligus juga tidak mendapatkan bimbingan dan pengajaran yang semestinya dari orang yang seharusnya paling dekat bagi mereka yaitu sosok seorang ibu. Itulah sebabnya untuk kasus seperti ini, banyak sekali pengalaman dimana anak justru lebih memiliki kedekatan emosional dengan pembantu di rumah dibanding dengan ibu mereka sendiri. Seperti sebuah kisah nyata seorang wanita muda yang menduduki posisi asisten manajer sebuah bank swasta, menangis pilu ketika menceritakan bagaimana anaknya yang sakit demam tinggi tak mau dipeluk oleh ibunya, tetapi berteriak-teriak memanggil nama pembantu mereka yang sedang mudik lebaran. Sungguhpun suatu pelajaran yang sangat tragis sekaligus memilukan.

Lalu, bagaimana seharusnya seorang ibu memerankan tugasnya dalam kehidupan?

Dan Islampun telah mengajarkan

Lebih dari lima belas abad yang lalu, Islam dengan segala kesempurnaan akan ajarannya telah menjelaskan akan peran dan kedudukan seorang ibu dalam kehidupan. Ia adalah seorang sosok manusia yang kehadirannya menjadi penyebab kesinambungan nasib peradaban. Ada yang mengatakan bahwa ibu merupakan sosok yang berperan sebagai madrasah peradaban. Bukan hanya dari rahimnya kita dilahirkan, tetapi juga melalui sentuhan kasih sayangnyalah kita dididik dan dibesarkan hingga kita menemukan dan menjalankan takdir kehidupan.

Kita sama-sama sepakat akan kehadiran sosok ibu yang teramat penting dalam setiap bait fase hidup kita. Kedudukannya tidak tergantikan oleh siapapun dalam hidup ini. Ibu kita adalah manusia mulia yang telah melahirkan kita, membesarkan kita, mendidik kita dengan kasih sayangnya, mengarahkan kita dengan ketulusannya. Maka jika ada seseorang yang wajib kita hormati dan kita taati setelah Alloh dan rosul-Nya, maka tempat itu akan pasti ditempati oleh sosok seorang ibu. Hal inipun mendapatkan pembenaran dalam ajaran Islam. Banyak sekali dalil qur’an maupun hadits yang menunjukkan ketinggian kedudukan seorang ibu bagi setiap kita. Diantaranya, betapa Al-qur’an dalam ayat-ayatnya menggandengkan syariat fundamental yaitu larangan menyekutukan Alloh dengan perintah untuk berbuat baik kepada bapak dan terutama ibu yang telah mengandung dan melahirkannya.(QS.4:36, 6:151, 17:23, 31:14)

Beberapa hadits juga menerangkan tentang keutamaan kedudukan seorang ibu dalam kehidupan seorang anak manusia. Dari Abu Huroiroh ra, ia berkata, “Seseorang datang menghadap rosululloh saw dan bertanya, “Siapakah manusia yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?“ Rosululloh menjawab, “Ibumu“. Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?“Rosululloh menjawab, “Ibumu“. Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?“ rosululloh kembali menjawab, “Ibumu“. Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?“ rosululloh menjawab, “Ayahmu“.(HR. Muslim)

Perhatikan bagaimana rosululloh menjawab sampai tiga kali untuk orang-orang yang wajib kita perlakukan dengan baik yaitu, “Ibumu“, “Ibumu“, “Ibumu“. Baru kemudian, “Ayahmu“. Hal ini tidak lain merupakan penjelasan betapa seorang ibu menempati posisi yang sangat tinggi dan mulia dalam kehidupan kita.

Keterangan lain mengisahkan tentang bakti seorang anak yang menggendong ibunya kesana kemari untuk thawaf di ka’bah dan mengikuti segala perintah ibunya, orang tersebut kemudian bertanya kepada Abdullah bin Umar,“Apakah aku sudah membalas jasa ibuku?“ maka dijawab oleh Abdullah bin Umar, “Belum setetespun engkau dapat membalas kebaikannya“(terdapat dalam Shahih ’adabul mufrod imam Al-Bukhori)

Atau hadits yang sudah lumayan masyhur yang menceritakan tentang seorang sahabat bernama Jaa-Himah yang memohon izin kepada rosululloh untuk ikut berjihad membela agama Alloh, lalu ditanyakan kepadanya oleh beliau saw, “Apakah kamu masih mempunyai ibu?“. Sahabat tersebut menjawab, “Ya, ibuku masih hidup“. Maka kata nabi, “Hendaklah kamu berbakti kepada ibumu, karena sesungguhnya syurga berada dikedua telapak kaki ibu“.(HR. Nasa’i, Hakim dan Ahmad)

Disamping itu banyak sekali keterangan bagaimana Islam sangat memuliakan sosok seorang bernama ibu, sehingga dalam hadits terakhir, kedudukannya disepadankan dengan balasan syurga jika kita dapat melayani dan mentaatinya dengan baik. Sungguhpun sebuah kemuliaan yang tidak pernah sekalipun diberikan kepada kaum bapak.

Maka mari kita renungkan

Di hari istimewa ini, maka mari kita coba menyadari. Betapa seseorang yang selalu membersamai kita dengan kasih sayangnya, dan yang telah mendidik dan membesarkan kita dengan ketulusannya, adalah orang yang sangat berarti dalam hidup kita didunia, terlebih pula di akhirat sana. Sosok seorang ibu adalah manusia yang memiliki tanggungjawab agung untuk membimbing kita agar selalu berada dijalan-Nya. Dalam koridor ini hendaknya seorang ibu memiliki peran. Bukan dengan berteriak-teriak menyuarakan emansipasi yang justru merusak pola tatanan yang disana Islam telah mengajarkan. Bukan berarti Islam membatasi dan membedakan secara tidak adil akan peran dari kaum ibu dan kaum bapak. Tetapi justru keberbedaan itu merupakan keadilan hakiki yang melambangkan akan keseimbangan kehidupan. Bukankah keadilan itu berarti keseimbangan, walaupun tidak dalam kesamaan peran?

Untuk para ibu, maka mari kita coba menyadari dan mengevaluasi peran kita selama ini. Apakah sudah betul-betul kita menjalaninya sesuai dengan apa yang Alloh dan rosul-Nya gariskan, ataukah justru seringkali dengan atau tanpa sadar kita telah melalaikan. Sedangkan bagi kaum laki-laki, entah engkau sebagai anak ataupun sebagai suami, renungkanlah akan jasa-jasa seorang wanita dalam hidupmu yang wanita itu bisa jadi ibumu, atau mungkin juga istrimu, yang telah diberikan tugas yang bernilai agung yaitu untuk menjadi seorang pendidik utama dalam bangunan masyarakat. Maka muliakanlah mereka sebagaimana Islam mengajarkannya. Karena tugas agung itulah Alloh menganugrahkan telapak kakinya dengan balasan syurga, bagi mereka yang benar-benar menghormati mereka dan mentaati mereka, dengan segenap ketulusan jiwa.Wallohu a’lam bish showwab.[]AF

Solusi Tepat Problematika Umat


Musibah dan problematika yang menghantam suatu negeri adalah suatu kemestian yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan ketetapan ini berlaku untuk setiap negeri yang diutus padanya seorang rasul. Allah SWT menjelaskan dalam salah satu ayatnya: “Dan tidaklah Kami mengutus seorang Nabipun kepada suatu negeri (lalu penduduknya mendustakan Nabi itu), melainkan akan kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri.” (QS. Al-A’raf: 94)

Dan masih terekam kuat di benak kita apa yang dialami kaum muslimin di berbagai negeri berupa fitnah dan musibah. Penindasan dan perampasan wilayah oleh kaum kafir atas kaum muslimin di Afghanistan, Palestina, Filipina, Bosnia, Cheznya dan negeri lainnya serta musibah banjir, tsunami dan semisalnya. Semuanya itu tidak lepas dari ketetapan Allah SWT di atas. Demikian pula halnya dengan bangsa dan kaum muslimin di Indonesia pada saat ini mendapat musibah yang menyesakkan, bencana, kesempitan, kekurangan, problem hukum, keamanan, pemerintahan, serta krisis ekonomi yang berkepanjangan.

Namun demikian, tidaklah Allah SWT menetapkan suatu ketentuan melainkan dengan sebab. Maksudnya Allah tidak akan menimpakan suatu malapetaka pada suatu negara melainkan dengan sebab. Jika kita mau adil dan jujur dalam mengoreksi kehidupan kita dan kaum muslimin pada umumnya, maka kita akan menemukan faktor utama penyebab realita ini. Allah SWT berfirman: “Katakanlah (wahai Muhammad): Jika bapak-bapak kalian, saudara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kalian usahakan, dan perdagangan yang kalian khawatirkan kebangkrutannya serta rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) jihad fi sabilillah, tunggulah hingga Allah timpakan adzabnya, dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24). Ibnu Katsir berkata: Jika semua perkara ini lebih kalian cintai daripada Allah dan rasul-Nya (tunggulah), yakni tunggulah adzab apa yang akan ditimpakan oleh Allah kepada kalian. Rasulullah SAW pun telah mensinyalir akan adanya musibah yang akan menimpa kaum muslimin yang tidak patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, beliau bersabda: “Apabila kalian telah berjual- beli dengan ‘inah (riba), memerintah dengan diktator, cinta kepada pertanian (dunia), dan kalian meninggalkan jihad fi sabilillah, niscaya Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian dan tidak akan menghilangkannya sampai kalian kembali kepada agama kalian.”

Perhatikanlah, Allah SWT dan Rasulullah SAW telah menegaskan faktor utama yang menyebabkan musibah ini adalah karena mereka telah meninggalkan agama mereka, karena mereka terlalu mencintai dunia, dan kenyataannya memang demikian. Kehinaan yang dialami oleh umat Islam adalah karena umat Islam telah melalaikan agama mereka dan hanya menjadikannya sebagai identitas belaka.

Sabda Nabi SAW: “Apabila kalian telah berjual- beli dengan ‘inah mengisyaratkan salah satu jenis mu’amalat yang mengandung riba dan mengakal-akali syari’at,…” Kita lihat berapa banyak kaum muslimin pada saat sekarang ini yang tenggelam dalam riba dengan segala macam bentuknya. Bahkan sebagian sengaja mengakal-akali agar tidak terkesan riba. Kemudian sabdanya: “…memerintah dengan diktator, cinta kepada pertanian, yakni cinta kepada dunia dan condong kepadanya serta tidak mempedulikan dan mengabaikan syari’at beserta hukum-hukumnya.” Sabda beliau SAW: “…dan kalian meninggalkan jihad merupakan akibat cinta dunia. Dan ini tidak berarti hanya jihad saja, melainkan termasuk juga kewajiban-kewajiban syari’at yang lain. Maka berapa banyak kaum muslimin sekarang ini yang meninggalkan shalat, zakat, shaum, dan lainnya tanpa merasa bersalah dan berdosa bahkan melakukannya dengan sengaja.”

Apabila kaum muslimin telah berada dalam keadaan seperti itu maka ditimpakanlah kepada mereka apa yang berhak ditimpakan. Dan jadilah mereka dalam keadaan hina diliputi fitnah dan musibah. Teranglah sekarang bahwa berbagai musibah -baik yang menimpa pribadi maupun masyarakat- berupa kesempitan, kekurangan, krisis moneter atau kekacauan, itu semua disebabkan maksiat mereka kepada Allah, mengabaikan perintah-perintah-Nya, serta lalai dan lengah terhadap syari’at-Nya, sehingga mereka menggunakan hukum selain hukum Allah. Padahal Allah lah yang menciptakan mereka. Allah lebih sayang kepada mereka daripada sayangnya orangtua kepada anaknya, dan Allah lebih tahu tentang mashlahat mereka daripada mereka sendiri.


Kebanyakan manusia menyandarkan segala musibah, baik krisis moneter atau chaos keamanan dan politik kepada sebab-sebab materi semata. Tidak diragukan lagi bahwa ini menunjukkan kedangkalan pemahaman mereka, kelemahan iman dan kelalaian mereka mengkaji Al-Qur’an dan sunnah rasul-Nya SAW. Sesungguhnya di balik sebab-sebab materi ada sebab-sebab syar’i yang lebih besar dan lebih kuat pengaruhnya. Sebab-sebab materi hanya merupakan akibat dan konsekuensi logis dari sebab-sebab syar’i. Allah berfirman: Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (A-Ruum: 41)

Maka apabila penduduk suatu negeri telah tenggelam dalam perbuatan dosa (kemaksiatan) dan kezhaliman, baik itu amalan bid’ah atau (bahkan) syirik dan kekufuran, akan ditimpakanlah malapetaka yang tidak akan dicabut sampai hilang penyebabnya. Terlebih lagi apabila manusia mendustakan ayat-ayat Allah, tidak mau beriman kepada para nabi dan rasul yang Allah utus, dan tidak pula beriman dengan syari’at yang didakwahkan para nabi dan rasul.

Nyatalah bahwa yang menjadi penyebab semua itu adalah karena mereka telah berpaling dari agamanya (Islam). Mereka telah menjadikan dunia lebih dicintai daripada Allah dan rasul-Nya. Mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban agama dan melanggar larangan-larangan Allah SWT.

Jauh-jauh sebelumnya Rasulullah SAW telah menengarai hal tersebut dan beliaupun telah memberikan solusinya. Dalam hadits Ibnu Umar di atas dinyatakan bahwa kehinaan yang diderita kaum muslimin tidak akan dicabut sampai mereka kembali kepada agamanya (Islam). Maka jalan keluar dari semua ini adalah kembali kepada Islam. Dimulai dengan taubat menyesali segala dosa yang telah dilakukan kemudian mempalajari Islam dengan benar dan mengamalkan serta menerapkannya dalam kehidupan.

Oleh karena itu, langkah awal dalam upaya mengatasi problematika ini adalah introspeksi diri; dosa apa yang pernah dilakukan? Dengan demikian hendaknya setiap individu harus segera bertaubat dengan taubat nashuha dan memohon ampun kepada Allah atas dosa yang pernah ia lakukan. Hendaklah bertaubat dari semua dosa baik yang kecil ataupun yang besar, yang diketauhi (disadari) ataupun yang tidak.

Seorang ulama mengungkapkan, Tidak diragukan lagi bahwa musibah ini dan yang lainnya mengharuskan hamba segera bertaubat kepada Allah SWT dari segala keharaman Allah yang dilanggarnya. Bersegera untuk melakukan keta’atan dan berhukum dengan syari’at-Nya, tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa dan saling menasihati dengan kebenaran dan kesabaran. Apabila hamba telah bertaubat kepada Rabbnya, tunduk kepada-Nya, dan bersegera menuju apa yang diridlai-Nya, tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, serta memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, maka Allah akan memperbaiki keadaan mereka. Allah akan melindungi mereka dari kejelekan musuh-musuhnya, memberikan mereka kekuasaan di muka bumi, menolong mereka mengalahkan musuh-musuhnya, mencukupkan nikmat-Nya atas mereka dan memalingkan (mencabut) adzab-Nya.

Ada sebagian orang di sana yang memiliki ghirah (semangat) yang besar yang menghendaki kemuliaan dan kejayaan Islam -alhamdulillah-, namun sangat disayangkan karena kejahilan pada diri mereka akhirnya berbicara dan bertindak serampangan. Mereka merasa solusi yang diberikan oleh Rasulullah SAW tidak lagi relevan. Mereka meyakini bahwa sebab utama bukanlah seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an dan dipaparkan dalam sunnah Nabi SAW. Merekapun mempersulit diri dengan mereka-reka dan mencari solusi yang paling tepat untuk diterapkan. Mereka menyebarkan talbis (pengkaburan) terhadap solusi Qur’ani dan Nabawi serta menebarkan pemahaman busuk kepada masyarakat. Di antaranya mengatakan bahwa faktor utama hinanya umat Islam dan penindasan serta penjajahan orang-orang kafir terhadap kaum muslimin adalah karena umat Islam hanya sibuk dalam urusan fikih ibadah sehingga tertinggal dalam urusan teknologi dan tidak tahu waqi’ (wawasan).
Maka seorang ulama menanggapi fenomena ini dengan menyatakan: Satu perkara yang sangat penting untuk dijelaskan di sini adalah kehinaan yang dialami oleh sebagian kaum muslimin dan penjajahan orang-orang kafir -termasuk Yahudi- terhadap sebagian negeri muslimin, bukanlah disebabkan karena mereka tidak tahu fiqhul waqi’ (wawasan) atau karena mereka tidak tahu rencana-rencana makar orang-orang kafir tersebut. Sesungguhnya sebab yang mendasar terjadinya kehinaan pada sebagian kaum muslimin adalah;
1.Karena kaum muslimin tidak mengenal lagi Islam yang diturunkan oleh Allah kepada nabi-Nya SAW.
2.Sebagian besar kaum muslimin yang tahu tentang Islam tidak mau mengamalkannya bahkan mengabaikan dan menyia-nyiakannya.

Oleh karena itu kunci agar kejayaan Islam terwujud kembali adalah dengan mempelajari ilmu yang bermanfaat serta mengamalkannya. Dan perkara yang sangat mulia ini tidak akan terwujud kecuali jika mengamalkan manhaj tashfiyah wat tarbiyah (pemurnian dan pendidikan). Kedua hal tersebut merupakan kewajiban yang besar.
Pertama: Memurnikan aqidah Islam dari kesyirikan, penentangan terhadap sifat-sifat Allah dan penta’wilannya, penolakan hadits-hadits shahih yang berkaitan dengan aqidah dan lainnya. Memurnikan fiqih Islam dari ijtihad-ijtihad yang salah, yaitu yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, memerdekakan akal dari unsur taklid dan ta’ashshub. Memurnikan kitab-kitab tafsir, fikih, raqaiq dan lainnya dari hadits-hadits dla’if dan maudlu’, israiliyyat dan munkar.
Kedua: Mendidik generasi Islam di atas agama Islam yang telah dimurnikan tadi, dengan pendidikan Islam yang benar semenjak usia dini yang tidak terpengaruh oleh pendidikan model barat yang sarat kekufuran.

Inilah satu-satunya jalan yang telah ditegaskan oleh banyak ulama, seperti firman Allah SWT: Jika kalian membela agama Allah, maka Allah akan menolong kalian dan mengkokohkan kedudukan kalian. (Muhammad: 7) Dan sudah disepakati oleh para ulama bahwa makna: Jika kalian menolong agama Allah, adalah jika kalian mengamalkan apa yang Allah perintahkan niscaya Allah akan menolong kalian atas musuh-musuh kalian. Kemudian di antara nash yang menguatkan makna tersebut dan sangat sesuai dengan kenyataan kita sekarang ini adalah (hadits) yang menggambarkan penyakit berikut obatnya sekaligus (yakni hadits Ibnu Umar di atas).

Dengan demikian, solusi untuk keluar dari kenyataan pahit ini adalah dengan merealisasikan firman Allah SWT: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka berusaha untuk mengubah keadaan mereka sendiri. (Ar-Ra’du: 11) Yaitu setiap muslim kembali kepada agamanya dengan mempelajari Islam dengan benar. Islam yang telah dimurnikan dari segala kotoran baik kesyirikan ataupun kebid’ahan. Kemudian mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya itu dengan ikhlas mengharap ridla Allah SWT semata, berpegang teguh dengan syari’at-Nya, serta merealisasikan dalam kehidupannya.

Demikianlah karena mentauhidkan Allah SWT serta beriman kepada rasul-rasul-Nya, menta’ati-Nya dan juga menta’ati rasul-Nya, berpegang teguh dengan syari’at-Nya dan menyeru manusia mengikutinya serta mengingkari orang-orang yang menyelisihinya adalah merupakan sebab segala kebaikan di dunia dan di akhirat. Semuanya merupakan sebab kekokohan, saling menasihati dan saling menguatkan, yang membawa kepada kemualian di dunia dan di akhirat, selamat dari hal yang tidak didinginkan, serta tegar dan terlindung dari segala cobaan (fitnah).

Allah berjanji kepada orang yang beriman di antara kalian dan beramal shalih akan menjadikannya khalifah (pemimpin) di bumi, sebagaimana orang-orang sebelum mereka dan akan mengokohkan bagi mereka agama yang Allah ridlai, serta akan menggantikan rasa takut mereka dengan rasa aman. (An-Nur: 55)

Inilah janji Allah yang sangat besar. Mudah-mudahan Allah segera mengeluarkan kita dari problematika umat ini serta menjadikan kita termasuk yang mendapatkan dan merasakan janji Allah tersebut. Wallahu ‘alam bishawan. (Mush’ab)

MASYARAKAT DAMBAAN UMAT


Masyarakat mempunyai peranan yang sangat besar untuk pembentukan karakter individu-individu didalam masyarakat tersebut. Setiap individu akan terpola dalam masyarakat dan terpengaruh oleh apa yang ada di dalamnya, baik berupa pemikiran maupun tingkah lakunya. Apabila masyarakat berpola jahiliyah maka tiap tiap individu yang ada didalamnya akan berperilaku dan berpikiran jahiliyah pula. Apabila masyarakat mencerminkan nilai islami maka tiap tiap individu yang ada didalamnya berperilaku dan berpikiran islami pula.

Manusia adalah mahluk sosial, yang harus hidup bersama manusia yang lain. Sudah barang tentu tiap individu yang satu akan mempengaruhi individu yang lain. Sebagaimana yang kita fahami bahwa hubungan individu satu dengan yang lain dalam bermasyarakat harus mencerminkan nilai-nilai islami, islam sebagai idiologi dalam pembentukan tatanan masyarakat. Disini perlu adanya konsep yang jelas terkait dengan pembentukan masyarakat yang islami tersebut.

Ibnu Qoyyim al-Jauzy mengatakan bahwa pembentukan masyarakat islami bertujuan membangun hubungan yang kuat antara individu sebuah masyarakat dengan menerapkan sebuah ikatan yang terbangun diatas kecintaan sebagai realisasi sabda Rasulullah yang berbunyi ”Tidaklah sempurna iman salah seorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari)

Pembentukan masyarakat yang memiliki jiwa membangun menurut ibnu Qoyyim ialah yang mampu menghasilkan individu masyarakat yang saling mencintai sebagian dengan sebagian yang lain, dan saling mendo’akan walaupun mereka saling berjauhan. Dan sebagai buah dari do’a ini malaikat akan mengaminkan do’a seseorang untuk saudaranya yang lain yeng telah dido’akannya.

Termasuk dari buah kecintaan seseorang kepada saudaranya adalah bahwa kecintaan tersebut akan menghantarkan kebaikan kepadanya, baik dalam hidupnya didunia maupun setelah kematiannya.

Akhlak Islam Dalam Masyarakat
Sebagaimana masyarakat Islam itu memiliki keistimewaan di bidang aqidah, ibadah dan pemikiran, maka ia juga memiliki keistimewaan dalam masalah akhlaq.

Akhlaq merupakan bagian penting dari eksistensi masyarakat Islam. Mereka adalah masyarakat yang mengenal persamaan keadilan, kebajikan dan kasih sayang, kejujuran dan kepercayaan, sabar dan kesetiaan, rasa malu dan kesetiaan, 'izzah dan ketawadhu'an, kedermawanan dan keberanian, perjuangan dan pengorbanan, kebersihan dan keindahan, kesederhanaan dan keseimbangan, pemaaf dan penyantun, serta saling menasihati dan bekerjasama (ta'awun). Mereka beramar ma'ruf dan nahi munkar, melakukan segala bentuk kebaikan dan kemuliaan, keutamaan akhlaq, semua dengan niat ikhlas karena Allah, bertaubat dan bertawakal kepada-Nya, takut menghadapi ancaman-Nya dan mengharap rahmat-Nya. Memuliakan syiar-syiarNya, senang untuk memperoleh ridhaNya, menghindari murka-Nya, dan lain-lain dari nilai-nilai Rabbaniyah yang telah banyak dilupakan oleh manusia.

Ketika kita berbicara tentang akhlaq, maka bukanlah akhlaq itu hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia saja, akan tetapi ia mencakup hubungan manusia dengan penciptannya juga.

Dalam menjalin hubungan antara individu satu dengan individu yang lain perlu adanya perilaku yang membuat hubungan tersebut menjadi harmonis. Hubungan yang mampu menjadikan individu yang ada didalam masyarakat merasa tenteram, tidak ada yang membuat resah. Akhlak islami mempunyai peranan yang penting dalam menciptakan hubungan tersebut. Akhlak islami bisa kita lihat dari tiap-tiap individu dengan melihat perilaku kesehariannya. Perilaku yang merupakan spontan tanpa ada rekayasa atau dengan dibuat-buat.

Kita banyak mendapatkan teori tentang akhlak islam, baik pelajaran agama disekolah, pengajian dimasjid, dan masih banyak lagi. Tapi ketika ilmu yang kita dapatkan tadi tanpa ada realisasi maka akhlak islami tersebut tidak akan muncul dalam diri kita. Akhlak islami banyak didapatkan ketika kita berinteraksi dengan masyarakat.

Dekat dengan orang sholeh, agar kita bisa belajar akhlak islam yang mulia. Sebagai perumpamaan, apabila kita dekat dengan penjual minyak wangi maka kita akan tertular bau wangi. Begitu juga kita ketika dekat dengan kebaikan maka akan tertular juga dengan hal yang baik.

Tugas Masyarakat Islam Terhadap Akhlaq

Sesungguhnya tugas masyarakat Islam terhadap akhlaq adalah sebagaimana tugasnya terhadap aqidah, pemikiran dan ibadah.

Tugas (peran) mereka terhadap akhlaq yang diutarakan oleh DR. Yusuf Qordhawi ada tiga hal, yakni Taujih (mengarahkan), Tatshit (memperkuat), dan Himaayah (memelihara).

Taujih atau pengarahan itu bisa dilakukan dengan penyebaran pamflet, penyampaian di berbagai mass media, pembekalan, dakwah dan irsyad (menunjuki jalan yang lurus).

Adapun Tatshit (memperkuat) itu dilakukan dengan pendidikan yang sangat panjang waktunya, dan dengan tarbiyah yang mengakar dan mendalam dalam level rumah tangga, sekolah dan universitas.

Sedangkan Himaayah itu bisa dilakukan dengan dua hal berikut:
Dengan pengendalian opini umum secara aktif, dengan selalu beramar ma'ruf dan nahi munkar serta membenci kerusakan dan menolak penyimpangan.

Dengan hukum atau undang-undang yang melarang kerusakan sebelum terjadinya dan pemberian sanksi setelah terjadinya. Hal itu untuk menakut-nakuti (tarhib) orang yang hendak menyeleweng dan mendidik orang yang merusak serta membersihkan iklim berjamaah dari polusi moral.

Dengan tiga hal ini, yaitu taujih, tatsbit dan himaayah maka akhlaq Islam akan tumbuh, berkembang dan berjalan dalam kehidupan sosial seperti berjalannya air yang m engandung zat makanan dalam batang pohon sampai ke daun-daunnya.

Maka bukanlah masyarakat Islam itu masyarakar yang di dalamnya akhlaq orang-orang yang beriman bersembunyi, sementara akhlaq orang-orang yang rusak muncul di permukaan.

Bukan pula masyarakat Islam itu masyarakat yang di dalamnya perilaku kekerasan orang-orang kuat mendominasi yang lemah dan yang lemah semata-mata tunduk kepada yang kuat.

Bukan disebut masyarakat Islam itu masyarakat yang menyembunyikan taqwallah dan muraqabah kepada-Nya serta takut terhadap hisabNya. Sehingga kita melihat manusia berbuat sesuatu seakan mereka menjadi tuhan-tuhan terhadap dirinya sendiri dan mereka terus berlaku demikian seakan di sana tidak ada hisab yang menunggu. Mereka terus dalam keadaan lalai, berpaling dan merasa cukup dengan apa yang sudah diperoleh di dunia.

Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang diliputi oleh sikap tawaakul (bermalas-malasan) dan menyerah kepada keadaan, bersikap lemah dan berfikir negatif dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup serta melemparkan kesalahan kepada ketentuan takdir.

Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang merendahkan orang-orang shalih dan memuliakan orang-orang fasik, mendahulukan orang-orang yang berbuat dosa dan mengakhirkan orang-orang yang bertaqwa.

Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang menzhalimi orang yang berlaku benar, sementara ia justru mendukung para ahli kebathilan. Mereka mengatakan kepada orang yang dipukul, "Diamlah kamu, jangan berteriak!," dan bukannya mengatakan kepada orang yang memukul, ."Tahanlah tanganmu!"

Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang segala macam kewajiban dirusak, seriap keinginan nafsu mereka turuti dan segala sesuatu diselesaikan dengan risywah (suap-menyuap).

Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang orang tuanya tidak dimuliakan dan orang mudanya tidak dikasihi, serta orang yang punya keutamaan tidak dihargai.

Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang akhlaqnya menjadi luntur dan meleleh, yang laki-laki menyerupai wanita dan kaum wanitanya menyerupai laki-laki.

Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang tersebar di dalamnya fakhisyah (perbuatan keji), kaum laki-lakinya tidak memiliki kecemburuan dan kaum wanitanya kehilangan rasa malu.

Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang orentasinya dalam beramal adalah riya' dan munafik atau untuk mencari pujian dan popularitas. Di sana hampir-hampir tidak ada lagi pejuang dari kalangan orang-orang yang ikhlas dan baik, yang bertaqwa dan yang tidak menonjolkan diri. Yaitu apabila mereka hadir, mereka tak dikenal dan apabila mereka pergi, orang tidak mencari (karena merasa kehilangan).

Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang diwarnai oleh akhlaq orang-orang munafik, apabila berbicara ia dusta, apabila berianji tidak menepati, apabila dipercaya berkhianat dan apabila bertengkar ia berbuat curang.

Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang bapak-bapak dan anak-anak mereka ditelantarkan. Sehingga anak menjadi durhaka terhadap orang tua, hubungan sesama saudara menjadi kering (tidak bersahabat), saling memutuskan silaturrahim, para tetangga saling bertengkar, ghibah membudaya, mengadu domba dan merusak hubungan baik merajalela, sikap egois menjadi identitas anggota masyarakat.

Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang tidak diatur oleh keutamaan dan nilai-nilai moralitas yang luhur. Akan tetapi, masyarakat Islam adalah masyarakat yang senantiasa berusaha untuk komit dan terikat dengan ketentuan tersebut, meskipun hal itu sulit dan penuh pengorbanan. Tidak heran, karena misi diutusnya Rasulullah adalah untuk menyempurnakan akhlaq manusia."abi SAW bersabda:
"Sesungguhnya aku diutus tiada lain kecuali untuk menyempurnakan, akhlaq." (HR. Bukhari, Hakim dan Baihaqi)

Maka tidak bisa dipisahkan dalam masyarakat ini antara ilmu dan akhlaq, antara seni dengan akhlaq, antara ekonomi dengan akhlaq, antara politik dengan akhlaq dan bahkan antara perang dengan akhlaq. Karena akhlaq merupakan unsur yang mewarnai segala persoalan hidup dan sikap hidup seseorang, mulai dari yang kecil sampai urusan yang besar, baik yang berdimensi individu maupun sosial.

Tugas Masyarakat Islam Terhadap Tata Kehidupan Islami

Sesungguhnya tugas masyarakat Islam di sini sebagaimana tugasnya yang kontinyu adalah memasyarakatkan adab-adab tersebut dan mendidik putra putrinya untuk memiliki adab Islami. Juga mendidik murid-muridnya untuk berakhlaq Islami dalam seluruh jenjang dan tingkatan pendidikan, dari masa kanak-kanak (balita) hingga perguruan tinggi dan mendorong hal itu (berakhlaq) kepada ummat dengan segala sarana yang ada dan dengan segala metode atau cara yang berpengaruh luas. Misalnya melalui makalah dan artikel, cerpen dan puisi, teater dan tilm, buletin dan buku, majalah dan surat kabar, mutiara kata dan karikatur, dan masih banyak lagi. Dan hendaknya bekerja sama dengan yayasan atau lembaga yang ada, seperti masjid, gedung teater, sekolah, stasiun televisi, penerbit dan sebagainya. Tidak boleh membangun peralatan di satu sisi, sementara menghancurkan sarana-sarana di sisi yang lain, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:

"Jika suatu hari bangunan itu telah sempurna, sementara kamu membangun sedangkan selain kamu merobohkannya."
"]ika ada seribu pembangun kemudian ada satu yang merusak maka sudah cukup, tetapi bagaimana jika yang membangun itu satu, sementara yang merusak ada seribu."

Apalagi perusakan di masa sekarang ini menggunakan ranjau, bukan lagi dengan kapak, dan ini benar-benar terjadi pada materi maupun moral secara keseluruhan.
Kewajiban masyarakat Islam dewasa ini adalah membersihkan tata kehidupan masyarakat dan tradisinya dari berbagai hal yang asing sehingga mempengaruhi tabiatnya yang seimbang dan adil. Baik hal itu dipengaruhi oleh masa-masa jatuhnya pemikiran dan kemunduran peradaban Islam atau juga akibat serangan dengan munculnya peradaban Barat Modern dengan berbagai bid'ah dan kemungkaran, baik di bidang mode pakaian, perkakas rumah tangga, makanan, minuman, resepsi pernikahan dan berbagai acara yang lainnya serta dalam pola hubungan antara laki-laki dan wanita dan lain-lain.

Sistem masyarakat islam (DR. Yusuf Qordhowi)
Manhaj Tarbiyah Ibnu Qoyyim (DR. Hasan Bin Ali al-Hijazy)