Lembar Dakwah LABBAIK

Wednesday, September 27, 2006

Masyarakat Madani

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. an-Nisaa’: 58)
Gagasan tentang masyarakat Madani mungkin beberapa waktu belakangan ini tidak lagi menjadi trend perbincangan dalam masyarakat kita. Kajian tentang masyarakat Madani (masyarakat Madinah pada masa Rasulullah SAW) mengemuka ketika bangsa kita berada dalam masa transisi mencari solusi terhadap krisis multi-dimensi yang sedang melanda. Begitu derasnya arus permasalahan ummat sehingga masyarakat dan pemimpin bangsa ini disibukkan dengan agenda-agenda mendesak tanpa sempat berfikir strategis untuk menyelesaikan masalah dari akarnya. Contoh nyata adalah kasus penyakit lumpuh layu, busung lapar, dan kurang gizi. Pemerintah menyikapinya dengan mengaktifkan kembali program Posyandu. Solusi ini ada benarnya, tapi tidak secara substansial menjawab permasalahan yang ada. Menteri Kesehatan mengatakan,”Wabah penyakit itu akibat ketidaktahuan orang tua tentang kebutuhan gizi bagi anaknya”. Pernyataan ini langsung terpatahkan oleh seorang ibu di Kupang dengan menyatakan,”Kami faham tentang kebutuhan gizi, tentang empat sehat lima sempurna. Masalahnya kami tidak punya cukup uang untuk memenuhi kebutuhan itu”. Dari contoh ini terlihat bahwa yang menjadi masalah bukan pengetahuan tentang gizi tapi pendapatan keluarga yang memang di bawah standar. Ini hanyalah contoh sederhana yang menggambarkan bahwa krisis multi-dimensi bangsa ini telah disikapi dengan reaksioner tanpa memahami akar masalahnya.

Di tengah kondisi seperti ini kita membutuhkan orang-orang yang mampu bertindak dengan cepat tetapi didasari oleh pemahaman yang mendalam tentang akar sebuah masalah serta keyakinan terhadap solusi yang ditawarkan. Di sinilah ada baiknya, kita kembali melihat arah perubahan yang kita inginkan ke depan. Agar solusi terhadap permasalahan yang ada tidak bersifat reaksioner tetapi punya visi yang jelas. Untuk memperbaiki kondisi masyarakat kita, dapat ditelusuri kembali apa yang terdapat dalam masyarakat Madinah pada masa Rasulullah sekaligus meneladani bagaimana Rasulullah dan masyarakat pada waktu itu dapat menciptakan tatanan masyarakat yang berperadaban. Mungkin kita sudah sering memberikan masukan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan yang tepat, maka alangkah baiknya kalau kita juga memulai mengadakan perubahan pada masyarakat kita sendiri.

Rakyat yang hidup pada masa Rasulullah SAW adalah rakyat teladan. Mereka cahaya bagi peradaban manusia yang mampu mewarnai citra kemajuan, modern, saling menghargai dalam negara Madinah yang dibangun oleh Muhammad SAW. Karakter yang menonjol pada masyarakat Madinah adalah :

Rakyat yang egaliter (saling menghargai).

Pada kenyataannya, keluhuran perilaku rakyat pada masa Rasulullah SAW terletak pada sikap menghargai satu sama lain, tidak saling merendahkan, dan oleh karenanya terbuka untuk saling nasehat-menasehati. Umar bin Khaththab ra berkata,”Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: ’Nanti akan berkunjung kepada kalian seorang bernama Uwais bin Amir bersama-sama dengan jama’ah Yaman yang berasal dari suku Murad lalu Qaran. Semula ia berpenyakit belang lalu sembuh kecuali tersisa sebesar dirham. Ia mempunyai ibu yang masih hidup dan sangat berbakti kepadanya. Kalau ia berkemauan pasti Allah akan mengabulkannya. Seandainya kamu mampu suruhlah ia beristighfar untukmu dan jangan engkau lewatkan.”

Sejak itu Umar bin Khaththab selalu bertanya kepada tamu yang datang dari Yaman kalau-kalau di dalamnya terdapat orang yang bernama Uwais. Kemudian pada suatu saat berjumpalah Umar dengan ciri khas sebagaimana yang disampaikan Rasulullah. Umar meminta Uwais untuk memohonkan istighfar kepada Allah bagi dirinya dan Uwais melakukannya. Ketika Uwais hendak meninggalkan Madinah menuju Kufah, Umar menawarkan surat rekomendasi kepada walikota Kufah agar ia dapat meringankan beban perjalanan Uwais. Tapi Uwais menjawab, ”Terimakasih Umar, aku lebih leluasa menjadi rakyat biasa tanpa diketahui orang lain.” Setahun kemudian datang seorang tokoh terkemuka dari Kufah untuk menunaikan ibadah haji dan berkunjung ke tempat Umar. Umar menanyakan keadaan Uwais kepada tokoh itu. Si Tokoh bercerita bahwa Uwais dalam keadaan compang-camping dan hidup sederhana. Tokoh tersebut terkejut ketika Umar menceritakan siapa sebenarnya Uwais tersebut. Ketika kembali ke Kufah, Tokoh tersebut meminta Uwais agar Allah memberikan ampun kepadanya. Uwais mendoakan Tokoh Kufah tersebut dan sejak itu namanya populer di Kufah. Mulai saat itu pula Uwais menyingkir dan menghilang dari kota Kufah agar hidupnya tidak terganggu dengan penghargaan-penghargaan. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Rakyat yang peduli sesamanya.

Dari Jabir bin Abdullah, bahwa suatu siang di Madinah datang sekelompok manusia dari suku Mudhar. Orang-orang itu berpakaian sangat sederhana, hanya berkemul kain shuf tebal berlubang dari kepala dan bersenjatakan pedang. Melihat wajah orang-orang Mudhar tersebut berubahlah wajah Rasulullah SAW. Beliau masuk ke dalam rumah, tak lama kemudian keluar dan menyuruh Bilal untuk adzan dan iqamat. Seusai mengimami shalat, Rasulullah SAW berkhutbah dengan mengawali kalimatnya dengan surat an-Nisaa’ ayat 1 dan surat al-Hasyr ayat 18.

”Wahai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya, dan dari pada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. an-Nisaa’: 1)

”Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” QS. al-Hasyr: 18)

Seusai berkhutbah datanglah seseorang dengan membawa emas dan peraknya. Datang lagi orang yang lain membawa pakaian. Ada yang membawa gandum, kurma, dan seorang Anshar datang membawa pundi-pundi besar nyaris tak terangkat olehnya. Tak lama setelah itu nampaklah dua gundukan besar makanan, pakaian, dan lainnnya. Wajah Rasulullah berseri-seri dan beliau bersabda, ”Barangsiapa merintis jalan kebaikan dalam Islam berarti dia memperoleh pahala dan pahala orang-orang yang mengikuti jalan kebaikan tersebut dengan tiada mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang merintis jalan kejahatan berarti ia memikul dosanya ditambah dengan dosa-dosa orang yang mengikutinya dengan tiada mengurangi dosa mereka sedikitpun.”
Orang-orang Mudharpun kemudian mendapatkan bantuan dari saudara-saudaranya di Madinah.

Rakyat yang Memiliki Kesadaran Kolektif.
Para sahabat Nabi Muhammad SAW yang menjadi rakyat Madinah adalah rakyat yang berpengetahuan dan sadar akan hak dan kewajibannya. Ayat-ayat al-Qur’an turun setiap saat mengiringi kebutuhan mereka akan masalah nilai, hukum, dan moral. Rasulullah saw senantiasa mengarahkan dengan nasehat-nasehatnya tentang kehidupan bermasyarakat. Di atas semua itu berhimpun para sahabat yang dengan penghayatannya terhadap ajaran Islam saling berinteraksi satu sama lain.

Rasulullah Saw bersabda, ”Manusia itu mempunyai tabiat dan pembawaan yang baik dan buruk seperti logam emas dan perak. Maka yang bertabiat baik di zaman jahiliyah, baik pula di zaman Islam selama ia memahami ajaran agam Islam. Ruh itu berorganisasi, maka yang searah tujuannya akan berkawan, dan yang berlainan arah tujuannya akan berselisih”. (HR. Muslim). Rasulullah SAW juga menjelaskan dalam banyak nasehatnya tentang koridor-koridor moral yang harus diperhatikan oleh seluruh rakyat baik yang terkait dengan kehidupan sesama kaum Muslimin maupun antara kaum Muslimin dengan orang-orang kafir. Misalnya, kaum Muslimin diperintahkan untuk tidak saling menghasud, menjegal dalam perekonomian, saling membenci, menghina, dan lainnya.

Kesadaran kolektif di antara sesama rakyat bahkan sampai menyentuh pemikiran moralitas yang mendalam. Pemikiran ini menumbuhkan kesadaran akan kewajiban bersama menciptakan keamanan dan kenyamanan di tengah-tengah masyarakat. Rasulullah bersabda, ”Hendaklah kalian menolong saudara kalian yang dianiaya dan yang menganiaya.” Seorang sahabat bertanya, ”Ya Rasulullah, kutolong orang yang telah dianiaya, lalu kenapa harus kutolong orang yang berbuat aniaya?” Rasulullah menjawa, ”Kalian halangi perbuatan dzalimnya, berarti kalian telah berusaha menolongnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rakyat yang Cinta Ilmu Pengetahuan.

Di balik semua ketinggian sifat Sahabat-sahabat Nabi SAW yang cemerlang, faktor cinta ilmu pengetahuan merupakan watak dasar yang menunjang kehidupan mereka. Ayat-ayat al-Qur’an memerintahkan kaum Muslimin untuk tidak berhenti begitu saja pada sesuatu yang mereka tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Bahkan untuk ini Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban manusia terkait dengan fungsionalisasi pendengaran, penglihatan, dan gerak jiwa serta hatinya. Rasulullah saw bersabda, ”Barangsiapa yang akan diberi kebaikan oleh Allah maka diberi pemahaman yang mendalam tentang agamanya.” (HR. Tirmidzi).

Penghargaan terhadap ilmu pengetahuan demikian tingginya sehingga kaum Muslimin generasi pertama dan berikutnya dikenal sebagai orang-orang yang bersemangat dan ulet dalam mencari ilmu. Abdullah bin Mas’ud pernah menanti selama dua tahun untuk memilih kesempatan yang baik ketika ia akan menanyakan kepada Umar bin Khaththab ra. tentang ayat al-Qur’an yang turun berkenaan dengan kehidupan istri Rasulullah SAW, Hafshah binti Umar Ra. Hal itu disebabkan kesibukan Umar sebagai Khalifah dan keengganan Abdullah untuk bertanya kepada Umar pada saat yang tidak tepat. Dalam persoalan periwayatan suatu hadits, yang menandai kecermatan metode penulisan sejarah, tidak ada peradaban lain yang dapat menandingi kaum Muslimin. Ratusan kitab yang dikarang untuk mencatat para ahli ilmu pengetahuan dari kurun ke kurun waktu yang lain.

Imam Bukhari (194-252 H), misalnya, menulis buku ath-Thoriiqul Kabiir yang memuat sekitar 40.000 biografi tokoh-tokoh perawi hadits semenjak masa sahabat Nabi SAW sampai dengan guru-gurunya langsung. Penghayatan kaum Muslimin terhadap sesuatu yang disebut “ilmu” sendiri sangat khas, sebagaimana yang dikatakan oleh Sufyan bin Uyaynah (wafat 198 H), salah seorang ulama Kufah, ”Yang dimaksud dengan ilmu itu adalah menghafalkan, mengamalkan, mendengarkan, memperhatikan, dan menyebarkan.”

Begitulah perikehidupan pada masyarakat Madinah. Perlu kita pahami bahwa kehidupan teladan pada masa itu dikarenakan kesungguhan Pemimpin dan Masyarakat pada waktu itu pada pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupannya.

Wallahua’lam bishshowaab. [SY]

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home