Lembar Dakwah LABBAIK

Friday, January 25, 2008

MARI BERBICARA TENTANG CINTA



Jikalau ada sesuatu yang dikatakan paling indah membahagia yang dirasakan seorang manusia dalam hidupnya, maka mungkin kata ini adalah yang selalu muncul terlontarkan oleh siapapun yang menjawabnya. Adalah cinta yang menjadi suatu tema yang senantiasa mengiringi roda hidup sejarah manusia, dari awal dunia dicipta, hingga nanti saat dimana hari kiamat tiba. Bisa dibilang, cinta adalah ruh kehidupan manusia. Tanpanya, hidup seakan hampa tiada makna. Bukan kehidupan namanya jika tidak menyelipkan kata ini menjadi salah satu sub tema dalam setiap persoalan yang pernah dihadapi oleh siapapun manusia.

Cinta memang suatu kata yang tidak pernah basi untuk dibicarakan oleh siapapun, dalam saat kapanpun, dan di tempat manapun. Ianya menjadi isu yang universal yang pernah dirasakan oleh setiap manusia normal yang pernah hidup di alam dunia ini. Hal itu karena cinta adalah sebuah fitrah, suatu ciri dari tabiat seorang manusia. Bilapun ada seseorang yang mengklaim bahwa ia tidak pernah jatuh cinta, maka kita boleh curiga akan hakikat kemanusiaannya.

Alloh telah sempurna ketika mencipta alam ini, tiada secuilpun kekurangan ketika Ia mencipta bumi dan langit dunia dalam enam masa (QS.7:54). Oleh karena itu, Dia juga menciptakan cinta di alam manusia, sesuatu yang menandakan bukti kesempurnaan penciptaan oleh yang Maha Sempurna dalam mencipta alam semesta. Alloh menghadirkan cinta sebagai suatu sarana bagi seorang manusia untuk mendapatkan bahagia. Ia juga menjadikan cinta sebagai salah satu unsur dalam beribadah kepada-Nya.

Beberapa ahli sastra mengatakan sesuatu tentang cinta, bahwa ia menjadikan pengecut menjadi pemberani, yang bakhil jadi penderma, menjadikan si bodoh pintar, memfasihkan lidah yang kelu, mempertajam pena bagi si pengarang, menguatkan si lemah dan melemahkan seorang yang kuat, mendatangkan kegembiraan di dalam jiwa dan kesenangan di dalam hati. Dan, mungkin sudah tidak lagi terhitung ungkapan-ungkapan semakna yang pernah dilontarkan oleh para ahli sastra dan siapapun manusia demi mengapresiasikan apa yang mereka fahami dari sebuah kata sederhana, cinta.

Cinta. Mungkin ia mirip sebuah senjata superdahsyat yang sanggup untuk merubah sesuatu yang mungkin tidak pernah terpikirkan untuk dapat dirubah sebelumnya. seperti yang diungkap oleh para sastrawan di atas, karena cinta-lah sesosok manusia dapat berubah 180 derajat dalam hidup dan kehidupannya.

Cinta merupakan salah satu landasan hidup dan pijakan gerak seorang anak manusia. Oleh karenanya kita diajarkan bahwa cinta menjadi salah satu asas dalam aqidah kita sebagai seorang muslim. Hingga kita mengenal salah satu kategori syirik kepada Alloh adalah syirkul mahabbah, syirik cinta. Kita memahami bahwa cinta dalam pandangan kita adalah cinta yang pertama dan utama yang ditujukan hanya kepada Alloh semata, dan cinta kepada selainnya adalah cinta yang tidak boleh keluar dari bingkai cinta kepada Dia yang kita sembah dengan segala ke-Maha Sempurnaan-Nya dalam segala wujud penciptaan. Dan manakala prinsip cinta yang sudah digariskan oleh Alloh dan Rosul-Nya tersebut kita langgar, sudah menunggu di alam neraka siksaan yang menjadi ganjaran oleh karena kesalahan kita terhadap pemaknaan dan penempatan prioritas cinta ketika kita hidup di dunia.

Cinta kepada Alloh adalah salah satu unsur dalam beribadah, dan ia menjadi sifat wajib yang mesti ada dan dimiliki oleh setiap hamba. Sebagaimana apa yang difirmankan Alloh dalam surat Al-Baqoroh ayat 165:
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Alloh”.

Dalam ayat tersebut Alloh mencirikan secara tegas sebuah karakter dari seorang mu’min dalam mengaplikasikan fitrah cinta, setelah sebelumnya Alloh menjelaskan bahwa ada makna kesepadanan antara aktifitas penyembahan kepada-Nya, dengan kedudukan penyaluran rasa cinta. Secara singkat mungkin ayat ini dapat dibahasakan bahwa menyembah adalah mencinta, oleh karena itu seorang beriman hanya menempatkan cinta kepada Alloh sebagai cinta pertama dan utama, sebelum cinta-cinta kepada yang lainnya. Artinya, cinta adalah salah satu asas dalam beraqidah. Bilamana dalam hal ini kita tersalah, maka akan suramlah nasib seorang manusia, baik itu di dunia, terlebih di akhirat sana. Mengenai hal ini, Alloh pun telah mencontohkan, bagaimana dunia dengan segala perhiasannya kadangkala mampu menyesatkan kita akan kaidah dalam memprioritaskan cinta. Dalam Qur’an Surat At-Taubah ayat 24 Alloh berfirman:
“Katakanlah: "jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Alloh dan Rosul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Alloh mendatangkan keputusan-Nya". Dan Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”.

Coba kita perhatikan ayat ini. Segala hal yang dapat memalingkan cinta kita kepada Alloh telah disebutkan. Secara garis besar Alloh membagi menjadi dua kecintaan, yaitu kecintaan yang berlebihan kepada keluarga, dan kecintaan yang berlebihan kepada harta. Kedua cinta ini yang memang biasanya dapat memerosokkan seorang hamba ke lembah kesesatan. Atau, kedua cinta ini yang juga sering menjadi tandingan kecintaan kepada Alloh. Seperti kisah seorang anak dari khalifah Abu Bakar Ash-shiddiq yang bernama Abdurrahman. Ia memiliki istri yang cantik jelita, yang karenanya, Abdurrahman pernah telat untuk datang menghadiri sholat berjama’ah di masjid. Abu Bakar merasa khawatir terhadap anaknya ini. Lalu ia perintahkan anaknya itu untuk menceraikan istrinya. Sebagai anak yang sangat berbakti, Abdurrahman pun menuruti perintah sang ayah, walaupun ada rasa nelangsa di ufuk dada yang terlukis dalam bait kata-kata:
Demi Alloh, tidaklah aku melupakanmu
Walau mentari kan terbit meninggi
Dan tidaklah terurai air mata merpati itu
Kecuali berbagi hati
Tak pernah kudapatiorang sepertiku
Menceraikan orang seperti dia
Dan tidaklah orang seperti dia
Dithalaq karena dosanya
Dia berakhlak mulia
Beragama, dan bernabikan Muhammad
Berbudi perkerti tinggi
Bersifat pemalu, dan halus tutur katanya

Mendengar itu, luluh kemudian hati sang Ayah. Maka diizinkanlah mereka rujuk kembali. Tidak berapa lama setelah itu, Abdurrahman pun membuktikan ketinggian cintanya. Dalam sebuah seruan jihad ia memenuhinya, dan ia syahid di medannya sebagai seorang syuhada. Ia telah benar-benar membuktikan kesucian dan ketinggian cintanya kepada Alloh Subhaana wa Ta’ala.
Kisah di atas memang terkesan terlalu tinggi bagi kita. Tapi paling tidak ada sebuah pelajaran agung tentang cinta yang dapat kita ambil hikmahnya. Betapa seorang Abu bakar merasa khawatir kalau kecintaan Abdurrahman terhadap istrinya tumbuh berkembang menjadi tidak sehat, yaitu kecintaan yang mengalahkan cintanya kepada Alloh. Dari kisah inipun kita dapat menarik pelajaran lain. Bahwa cinta yang diikat dengan halalan thoyyiban dalam mahligai pernikahan pun kadangkala dapat menjadi batu ujian bagi dua orang hamba dalam meraih ridho-Nya. Lalu bagaimana dengan kisah cinta remaja dan pemuda zaman sekarang yang sudah sangat menggejala, sehingga apa yang mereka sebut dengan pacaran itu tidak jarang menjadi penyebab mereka melakukan perbuatan berzina. Padahal dalam sebuah ayat dikatakan bahwa mendekati zina saja kita sudah dilarang.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk”(QS.Al-Isro:32)

Maka menjadi sebuah peringatan bagi kita semua. Ada aturan dalam Islam yang mengajarkan tentang cinta. Pun, ada etika dalam Islam yang mengatur tentang bagaimana kita berinteraksi dengan sesama, khususnya yang berkenaan dengan hubungan kecendrungan rasa dengan seseorang di kehidupan kita, terutama bagi para pemuda yang belum memiliki keinginan untuk segera menggenapkan separuh agama. Pacaran, dengan segala aktivitasnya adalah termasuk ke dalam perbuatan “mendekati zina”. Maka untuk mendekatinya saja dilarang, apatah lagi jika melakukannya.

PENUTUP
Menjadi suatu hal yang wajib kita fahami dari agama Islam ini adalah kemenyeluruhan dalam ajarannya. Sehingga tidak ada secuilpun dimensi aktifitas yang itu tidak luput dari pengaturan Islam, apalagi ajaran Islam tentang cinta. Fitrah cinta dan kecendrungan rasa menjadi suatu hal yang sangat manusiawi yang pasti dirasakan oleh setiap manusia. Bagi agama ini, cinta menjadi suatu persoalan agung yang benar-benar di perhatikan. Karena ia menjadi salah satu pilar dari sesuatu yang paling mendasar dalam bangunan agama. Ia merupakan salah satu unsur dalam ibadah, sekaligus menjadi asas dalam beraqidah. Maka menjadi bukti kesempurnaan iman seseorang adalah kemengertiannya dan kelurusannya dalam mengaplikasikan fitrah cinta. Sekalipun jangan sampai terjadi kita terjerembab dalam kubangan kesesatan yang disebabkan oleh kesalahan kita dalam menyalurkan rasa cinta. Karena jika saja itu sampai terjadi pada diri kita, maka bersiap saja dihampiri oleh rasa sengsara yang tiada batasnya, hanya karena cinta yang tidak kita sanggup untuk mengaturnya. Wallohu a’lam bish showwab.

1 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home