Lembar Dakwah LABBAIK

Monday, March 12, 2007

KEKUATAN MENGEMBAN AMANAH


“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,…” (QS. An Nisa’ 4: 58)

Setiap manusia pastilah mempunyai beban di pundaknya suatu amanah, suatu tanggung jawab. Allah memberikan amanah kepada hamba-Nya disesuaikan dengan kadar kemampuan tiap-tiap individu, anak kecil tidaklah mengemban amanah yang sama dengan orang dewasa. Apabila anak kecil mengemban amanah seperti halnya orang dewasa, maka amanah tersebut tidaklah dapat dilaksanakan dengan maksimal atau bahkan tidak terlaksana.

Banyak sekali amanah yang ada di pundak kita, mulai dari amanah untuk mencari nafkah keluarga, mendidik anak, bersosialisasi di masyarakat, dari amanah yang besar sampai amanah yang kecil. Semua amanah yang ada di pundak kita bisa menjadi beban yang sangat dahsyat apabila kita tidak mempunyai kekuatan untuk mengembannya. Maka di sini, sangat penting bagi kita mempunyai kekuatan agar amanah yang ada mampu kita laksanakan. Janganlah kita lari dari amanah, karena hal itu justru akan melemahkanmu dan merupakan awal kegagalanmu. Bila amanah datang menghampirimu, sambutlah ia dengan optimis dan tunaikanlah segera dengan kesungguhan, ketekunan dan kesabaran. Niscaya Allah akan memberikan kemudahan dan keberhasilan.

Tunaikanlah Amanah

Besar atau kecil amanah yang dibebankan kepada kita, hendaknya kita tunaikan atau kita laksanakan. Apabila amanah itu tidak kita tunaikan, maka akan berakibat kepada diri kita serta kepada orang lain. Dampaknya, kita tidak akan mendapat kepercayaan dari orang lain lagi, karena telah mengecewakan serta membuat kerugian. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Anfal 8: 27)

Amanah Kepemimpinan

Manusia diciptakan oleh Allah Ta’ala untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini. Di mana manusia sebagai pemimpin atau khalifah di muka bumi harus senantiasa menjalankan amanah kepemimpinannya dengan baik yaitu memakmurkan dan melestarikan bumi. “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.” (QS. Fathir 35: 39)

Pada saat ini banyak sekali manusia yang lalai dari amanahnya sebagai khalifah, mereka malah membuat kerusakan-kerusakan di muka bumi ini, yang akhirnya berimbas bagi orang banyak. Bencana yang disebabkan ulah tangan manusia datang silih berganti. Belum selesai masalah lumpur Lapindo, disusul masalah banjir, penyakit yang kian mewabah, tanah longsor, angin topan dan bencana-bencana yang lain. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar Rum 30: 41)

Padahal dahulu ketika amanah terbesar (memakmurkan dan melestarikan bumi) diberikan kepada ciptaan Allah, mereka tidak ada yang menyanggupinya karena beban tersebut terlalu berat. Dan hanya manusialah yang berani menerima tawaran yang diberikan Allah Ta’ala tersebut. “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. al Ahzab 33: 72)

Setiap manusia adalah pemimpin, baik pemimpin bagi manusia yang lain atau pemimpin bagi dirinya sendiri. Dan setiap pemimpin pasti akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat atas apa yang dilakukannya. Sebaik-baik pemimpin adalah yang mampu memberi kemanfaatan bagi yang dipimpinnya. Dan seburuk-buruk pemimpin adalah yang lalai dari apa yang diamanahkannya serta memberikan keburukan bagi yang dipimpinnya.

Dari Ibnu Umar ra., ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. Bersabda: “Kalian adalah pemimpin, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin dalam mengelola harta tuannya, dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Oleh karena itu, kalian sebagai pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Janganlah Berkhianat

Apabila kita diberi kepercayaan untuk mengemban suatu amanah maka hendaknya kita selesaikan amanah tersebut dengan sebaik mungkin, dengan segala kemampuan. Termasuk ciri orang munafik apabila kita melalaikan atas amanah yang dibebankan kepada kita. Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang dikabarkan oleh Rasulullah saw. sebagai golongan orang yang munafik. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah saw. bersabda “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu: Apabila berkata ia dusta, apabila berjanji ia mengingkari dan apabila dipercaya ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan seburuk-buruk orang yang lalai dari amanah adalah orang yang diberi beban atau tanggungjawab yang besar untuk mengelola negara atau bertanggung jawab terhadap orang banyak. Di mana kebijakan yang dibuat hanya untuk kepentingan hawa nafsunya sendiri, tidak untuk memberi kebaikan bagi rakyat yang dipimpinnya, justru memberi keburukan bagi rakyat yang dipimpinnya. Hal seperti ini yang dapat dikategorikan dengan pengkhianatan terhadap rakyat. Dari Abu Sa’id Al Khudriy ra. Bahwasanya Nabi saw. Bersabda: “Setiap pengkhianat, pada hari kiamat nanti mempunyai sebuah bendera yang ditancapkan di pantatnya, lantas dengan bendera itu ia ditarik ke atas sesuai dengan pengkhianatannya. Ingatlah tiada pengkhianat yang lebih jahat melebihi pemimpin rakyat yang berkhianat.” (HR. Muslim)

Kekuatan Mengemban Amanah

Untuk senantiasa menjaga diri kita dari kelalaian mengemban amanah, maka dibutuhkan kekuatan penunjang agar amanah yang ada di pundak kita dapat kita laksanakan dengan baik. Kekuatan atau kemampuan mengemban amanah bukan pada kuantitas (banyak dan sedikit) amanah yang diemban, melainkan pada kualitas diri kita dalam mengemban amanah. Kekuatan tersebut antara lain:

Kekuatan Hati

Kekuatan hati adalah dengan mengingat Allah, pemenuhan kebutuhan hati sangatlah penting, agar ruh atau jiwa memiliki semangat hidup. Tanpa adanya pemenuhan kebutuhan hati maka jiwa akan mati dan tidak sanggup mengemban amanah besar yang dilimpahkan kepada kita.

Menjaga kedekatan kita kepada Allah Ta’ala merupakan sumber kekuatan yang paling penting. Karena hal ini berkaitan erat dengan niat serta keikhlasan kita. Kekuatan hati dapat kita pupuk dengan banyak beribadah kepada Allah Ta’ala. Allah akan senantiasa menolong hamba-hambanya yang beriman. “Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (QS. Al Mu’min 40: 51)

Dengan semakin berkualitasnya keimanan kita maka orientasi amalpun akan senantiasa mengharap keridhaan dari Allah Ta’ala. Dalam setiap melaksanakan amanah yang ada pada diri kita, senantiasa untuk mengharap barokah dari Allah Ta’ala. Apabila kita lalai dalam menjaga keimanan kita, bisa jadi orientasi kita akan beralih hanya untuk mengejar nafsu duniawi saja.

“Ikhlas merupakan suatu kekuatan iman pengendali jiwa yang mendorong seseorang untuk menyingkirkan kepentingan pribadi dan menjauhkan keinginan-keinginan materi, sehingga tujuan amal semata-mata hanya untuk mengharap ridha Allah Ta’ala. Sebesar apapun amalan yang kita kerjakan akan sia-sia manakala tidak disertai dengan niat yang ikhlas.” (Abdullah Nashih ‘Ulwan)

Kekuatan Akal

Akal adalah yang membedakan manusia dengan hewan, dengan akal manusia lebih mulia dari makhluk lainnya. Tentu saja apabila digunakan untuk hal kebaikan dan memberikan manfaat kepada orang lain. Dengan adanya ilmu dan wawasan yang luas maka amanah yang ada dipundak kita akan dengan mudah kita laksanakan.

Ilmu dan wawasan akan memberikan jalan bagi kita untuk mempermudah dalam menyelesaikan setiap ada permasalahan. Banyak sekali perbedaan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Dengan ilmu, kita mendapatkan nilai lebih di hadapan manusia dan di hadapan Allah Ta’ala. “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mujadilah 58: 11)

Kekuatan Fisik

Selain adanya kekuatan hati serta kekuatan akal, kekuatan fisik juga sangat menentukan terlaksananya amanah. Apabila kita memiliki kekuatan hati serta kekuatan akal tapi kita lemah dalam kekuatan fisik (sakit-sakitan), maka kita tidak akan mampu merealisasikannya.

Menjaga kondisi fisik agar senantiasa sehat merupakan suatu hal yang harus kita lakukan, yaitu dengan senantiasa olah raga yang teratur, menjaga pola makan kita, makan dan minum yang halal serta baik, menjaga kebersihan dan kesehatan diri dan lingkungan. Bukankan orang yang kuat lebih dicintai Allah dari pada orang yang lemah? Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dikatakan bahwa “Mukmin yang kuat itu lebih baik atau disukai Allah daripada mukmin yang lemah.”

Khatimah

Amanah terbesar kita sebagai manusia adalah menjadi khalifah di muka bumi ini, untuk memakmurkan dan melestarikan bumi demi kemaslahatan umat. Kemampuan kita mengemban amanah bukan pada banyak sedikitnya amanah yang ada pada kita, melainkan pada kualitas diri dan kesungguhan karena Allah dalam menunaikan amanah. Untuk bisa mengemban amanah yang ada di pundak kita, maka diperlukan tiga kekuatan, yaitu kekuatan hati, kekuatan akal serta kekuatan fisik.

Yakinlah, bahwa layaknya sebuah beban setiap amanah yang Alah berikan tidak akan melebihi kemampuan hamba-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS. Al Baqarah 2: 286)
Wallahu a’lam bishshawab. [IA]

Maroji’:
Al Qur’an, Riyadhus Shalihin, Taujih Ruhiyah, Super Mentoring

Saturday, March 03, 2007

Islam Cinta Keadilan


“ Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki ?( Hukum ) siapakah yang lebih baik daripada hukum Alloh bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”
( QS. Al Maidah: 50 )


Sudah merupakan hal yang wajar apabila setiap manusia mendambakan ketenteraman dalam hidupnya. Kebanyakan manusia tidak suka dengan sesuatu yang dianggap perilaku kejam dan tidak berperikemanusiaan. Sehingga wajar jika ada beberapa orang yang menolak adanya hukuman mati bagi para pelaku pembunuhan maupun pelaku kejahatan lainnya karena dianggap terlalu kejam. Lantas kenapa dalam ajaran Islam diterapkan hukuman mati bagi para pelaku pembunuhan yang disengaja, apakah Islam kejam dan tidak adil. Tentu tidak, karena hal tersebut justru mencerminkan betapa adilnya Islam karena Islam sebagai rahmatan lil “alamin ingin menebarkan nilai-nilai keadilan pada seluruh manusia. Dalam hal ini, hukuman mati yang diberikan bagi pelaku pembunuhan bukanlah hukuman yang terlampau kejam tetapi justru ingin memberikan efek jera bagi para pelakunya dan keamanan dalam masyarakat. Hukuman mati merupakan hukuman yang sangat adil karena setimpal dengan kejahatan yang telah dilakukan dan syariat Islam bertujuan ingin melindungi jiwa manusia. Selain itu, bukanlah kematian yang akan didapatkan oleh orang yang dihukum mati tetapi justru kehidupan abadi lah yang akan dia dapatkan. Dan permasalahan pembunuhan merupakan sesuatu yang akan diadili pertama kali pada hari kiamat.

Lalu sebenarnya keadilan sendiri itu apa. Banyak orang yang mencoba memberi makna pada keadilan, tetapi banyak yang berbeda-beda dalam memaknainya. Orang komunis akan memaknai keadilan dengan sama rata sama rasa, dalam artian sesuatu dapat dikatakan adil ketika semua hal ditanggung bersama tanpa ada pembedaan. Ada lagi yang memaknai adil adalah kesamaan peran antara pria dan wanita tanpa memandang fitrahnya. Bahkan ada yang memandang bahwa keadilan akan tegak hanya dengan membiarkan semua orang berbuat semaunya sendiri karena keadilan tercapai jika seluruh kebutuhan materi sudah tercapai. Lalu bagaimana pemaknaan Islam terhadap keadilan.

Makna keadilan dalam Islam

Dikisahkan saat pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Azis ada salah satu Gubernur yang melapor bahwa kotanya butuh perbaikan gedung. Mendengar laporan tersebut, Umar Bin Abdul Azis hanya mengatakan bahwa untuk membangun kota yang harus dilakukan bukanlah perbaikan gedung tetapi membentengi kota dengan keadilan dan membersihkan jalannya dari kezaliman. Pernyataan tersebut sangat luar biasa krena diucapkan oleh seorang pemimpin yang telah membuat rakyatnya makmur sehingga tidak ada satupun rakyatnya yang layak menerima zakat. Pernyataan itu sendiri menunjukkan bahwa keadilan merupakan tiang pancang kehidupan, karena apabila keadilan tidak diterapkan maka sendi-sendi kebersamaan akan runtuh. Di dalam kebersamaan, setiap manusia akan bertanggungjawab pada yang lain dan harus bisa berlaku adil. Sebagai contoh bahwa seorang pemimpin harus berlaku adil pada bawahannya sebagai bentuk tanggungjawabnya. Apalagi bagi seorang penguasa yang harus berlaku adil pada rakyat yang telah memilihnya. Bisa dibilang bahwa hanya keadilan yang mampu mengantarkan hak bagi yang berhak dan menolaknya dari yang tidak berhak. Keadilan akan mengantarkan rasa aman bagi setiap manusia karena dia tahu bahwa haknya tidak mungkin diambil orang lain dan dirinya tidak akan dibebani dengan sesuatu yang bukan kewajibannya. Kalau dilihat dalam konteks keumatan, Alloh tidak akan menolong umat Islam jika mereka tidak berbuat adil. Dari uraian diatas secara sederhana keadilan bisa diartikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya, tanpa terkecuali. Dan Islam sebagai sebuah agama yang bersumber dari wahyu Ilahi selalu mendasarkan setiap peraturan tanpa mengabaikan aspek kemanusiaan. Dalam artian setiap peraturan yang ada dalam Islam merupakan sesuatu yang bisa dipahami oleh akal sehat manusia, meskipun kadang-kadang banyak pula yang tidak mampu memahaminya.

Bukti Keadilan Islam

Dahulu ketika jaman khalifah Ali Bin Abu Thalib, ada sebuah kisah yang sangat perlu untuk kita teladani. Kisah tersebut dimulai saat khalifah Ali kehilangan baju perangnya pada suatu peperangan. Suatu waktu, beliau melihat baju besi miliknya yang dulu hilang dipakai oleh seorang Yahudi karena beliau sangat hafal dengan ciri-ciri baju besinya. Kemudian baju besi yang berada di tangan Yahudi itupun diminta oleh Ali, tetapi Yahudi tersebut tidak mau menyerahkannya karena merasa bahwa baju besi itu adalah benar miliknya. Hal tersebut menyebabkan khalifah Ali melaporkan orang Yahudi tersebut pada hakim yang kala itu dijabat oleh Syuraih. Akhirnya persidangan pun dilaksanakan, dan untuk memperkuat argumentasinya Ali memanggil dua orang saksi yaitu pembantunya dan Hasan anaknya sendiri. Akan tetapi hakim Syuraih hanya menerima kesaksian pembantunya dan tidak menerima kesaksian Hasan karena masih memiliki hubungan darah dengan Ali. Hal itu menyebabkan Ali memprotes sang hakim akan tetapi protes tidak digubris. Karena saksinya kurang, maka hakim memutuskan bahwa baju besi itu adalah milik orang Yahudi itu. Mendengar hasil persidangan, Ali pun berlapang dada karena memang dia tidak bisa menghadirkan saksi untuk memperkuat tuntutannya, sedangkan orang Yahudi tersebut takjub atas apa yang terjadi di depan matanya. Dia heran kenapa seseorang yang merupakan penguasa bisa kalah oleh dirinya yang seorang rakyat jelata yang yahudi. Akhirnya Yahudi itu langsung mengakui bahwa baju besi itu memang milik Ali bukan miliknya dan diapun mengucapkan dua kalimat Syahadat pertanda dia telah masuk Islam. Tadinya dia hanya mengharapkan baju besi menjadi miliknya dan karena keadilan Islamlah dia bisa mendapatkan kekayaan yang abadi yaitu keimanan. Bahkan dia pun bisa mendapatkan baju besi juga karena Ali menghadiahkan baju besi tersebut untuknya ditambah dengan sejumlah uang. Kisah tersebut tentu mengajarkan kita bahwa Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi keadilan sesuai dengan firman Alloh : “ berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan taqwa” ( Q S AlMaidah:8 ). Keadilan yang dilakukan seseorang akan mengantarkannya menjadi orang-orang yang bertaqwa. Ketika peraturan yang ada mendasarkan diri pada tuntunan Alloh dan Rosul-Nya tidak akan terjadi kezaliman di muka bumi. Sebagai contoh adalah syariat poligami yang banyak dikeluhkan karena dianggap tidak adil. Dulu sebelum Islam datang, orang-orang arab juga telah melakukan poligami. Akan tetapi tidak ada pembatasan jumlah dan dilakukan semau mereka sendiri sehingga wanita menjadi terdzalimi. Akan tetapi setelah Islam datang, jumlahnya dibatasi maksimal empat orang dan persyaratan untuk melakukan poligami pun diperketat. Contoh lain adalah dalam pembagian waris, Islam membagi waris dengan proporsi laki-laki dan wanita dua banding satu. Hal itu dilakukan karena tanggungjawab laki-laki lebih besar untuk mencari nafkah keluarga dan juga memelihara keluarganya.

Sempurnanya hukum Alloh

Keadilan di muka bumi hanya dapat tercapai apabila Islam diterapkan dalam segenap aspek kehidupan termasuk aspek hukum / syariat. Sesuai dengan Firman Alloh “ Tidaklah kami alpakan sesuatupun dalam Alqur’an “ ( QS Al An’am:38 ). Tujuan syariat sendiri dalam Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan, keadilan dan kesejahteraan umat manusia. Islam sendiri memiliki syariat / peraturan hukum yang sangat sempurna karena memiliki beberapa keunikan, diantaranya:

Pertama, bersifat manusiawi yang menunjukkan relevansi hukum Islam dengan watak manusia serta kebutuhan dan keinginan manusia. Kemudian menghargai hak hidup manusia, memenuhi kebutuhan rohani dan mengembangkan akal pikir manusia. Selain itu, juga menjunjung tinggi prinsip kehidupan manusia seperti keadilan, toleransi, permusyawaratan, saling mengasihi,saling memaafkan, persatuan, perdamaian dan sebagainya.

Kedua, bercirikan moral yang menunjukkan bahwa hukum Islam berpijak pada kode etik tertentu mengingat Nabi Muhammad diturunkan bertujuan untuk menyempurnakan akhlak manusia dengan tetap berpijak pada kode etik dalam Alqur’an. Hal ini berarti Islam menjaga kehormatan dan martabat manusia, saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, serta mendudukkan sesuatu sesuai kedudukannya..

Ketiga, bercirikan universal dalam artian seluruh aturan ada dan mengikat untuk seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Tidak seperti agama lain yang diturunkan untuk umat agamanya saja, segenap peraturan yang ada dalam Islam tidak hanya untuk umat Islam saja tetapi mengikat juga ke umat lain.

Islam dan syariahnya membuka diri dan dapat berdialog dengan siapapun dan kapanpun karena Islam menjelaskan seluruh permasalahan umat. Selain itu, syariah Islam juga memliki karakteristik tersendiri diantaranya:

Pertama, sempurna mengingat Islam sebagai agama terakhir telah disempurnakan oleh Alloh sehingga mencakup berbagai dimensi kehidupan baik akidah, politik kemasyarakatan, kebudayaan, pertahanan dan keamanan, sosial kemasyarakatan, ekonomi dan sebagainya.

Kedua, berwatak harmonis dan seimbang yakni keseimbangan yang tidak goyah, selaras dan serasi sehingga membentuk ciri khas yang unik. Karenanya ada hukum wajib sebagai bandingan haram, sunah dengan makruh dan ditengahi oleh hukum mubah. Hal lainnya adalah menempatkan kewajiban seiring dengan penuntutan hak, menggunakan harta benda tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit, dan sebagainya.

Ketiga, dinamis yang menunjukkan bahwa syariah Islam bisa berkembang menurut kondisi pada masa itu. Adanya ijtihad dalam Islam membuka jalan berubahnya peraturan yang belum ada ketetapan yang pasti.

Kesimpulan

Uraian diatas tentunya menunjukkan pada kita bahwa Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi keadilan demi tercapainya kesejahteraan dan kemaslahatan bersama. Sudah banyak hal yang membuktikan adilnya setiap peraturan yang ada dalam Islam, apalagi ketika itu diterapkan oleh orang yang bertaqwa. Dalam sisi hukum, tidak ada pembedaan semua yang bersalah akan dihukum sesuai peraturan yang berlaku tanpa terkecuali. Alloh tidak akan menegakkan negara yang banyak terjadi kedzaliman meskipun penduduknya muslim dan sebaliknya Alloh juga tidak akan menghancurkan negara yang adil meskipun mereka kafir. Azab Alloh akan datang ke dalam suatu masyarakat Islam jika mereka memang berhak untuk diberi peringatan. Oleh karena itu, setiap muslim tidak boleh ragu bahwa Islam adalah satu-satunya pandangan hidup yang mampu menjelaskan makna keadilan di seluruh bidang kehidupan. Kita harus berperan aktif untuk menegakkan keadilan di kehidupan kita, dimanapun kita berada. Wallohu a’lam bisshowab ( H )


Maraji:
Al Qur’an, Fiqih Sunnah, Minhajul Muslim