Lembar Dakwah LABBAIK

Friday, January 25, 2008

Ideologi Islam Menghadapi Tantangan Zaman


Disadari atau tidak, pengertian “agama” yang dipahami masyarakat luas saat ini adalah “agama” dalam pengertian Barat yang sekularistik. Menurut mereka, agama hanya mengatur hubungan pribadi antara seseorang dengan Tuhan. Kalaupun mengatur hubungan antar manusia, agama hanya mengatur pada aspek yang terbatas, tidak mengatur seluruh aspek kehidupan secara total dan menyeluruh.

Ketika pemahaman sekularistik ini diterapkan pada Islam, yang terjadi adalah reduksi dan distorsi yang luar biasa menyimpang dari Islam. Akhirnya Islam dipahami seperti agama-agama lainnya yang a-politis dan impoten dalam mengatur kehidupan manusia. Padahal, sebagai agama sempurna, sesungguhnya Islam telah mengatur seluruh perikehidupan manusia tanpa kecuali. Tak ada satupun persoalan hidup yang terjadi pada manusia, kecuali Islam telah menjelaskan tata aturannya. Allah SWT berfirman :
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian…” (QS Al; Maa`idah : 3)
“Dan telah Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al Kitab (Al Qur`an) menjelaskan segala sesuatu.” (QS An Nahl : 89)

Berdasarkan kenyataan adanya reduksi Islam itu, diperlukanlah upaya untuk mengembalikan Islam pada posisinya yang sebenarnya sebagai pengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Digunakanlah kemudian istilah “ideologi” yang memiliki makna yang lebih luas daripada istilah “agama” menurut versi kaum sekuler yang kafir.

Siapa pun orangnya, pasti mempunyai kesan dan persepsi bahwa “ideologi” mestilah bersifat holistic-ketuhanan- dan total dalam mengatur kehidupan manusia. Janggal sekali tepatnya, bodoh sekali kiranya kalau ada orang yang berpendapat bahwa “ideologi” tidak mengatur segala aspek kehidupan atau hanya mengatur secuil aspek kehidupan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) saja, mengartikan ideologi sebagai “kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup.” (hal. 319)

Oleh sebab itu, kata “ideologi” yang dirangkaikan dengan “Islam” sehingga menjadi istilah “ideologi Islam” sungguh bukanlah sekedar menarik secara leksikal dan gramatikal, namun memiliki substansi makna yang dalam dan fundamental. Dengan kata “ideologi Islam”, sebenarnya telah terjadi proses penghancuran (dekonstruksi) terhadap paham sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang telah membelenggu otak umat sekaligus proses purifikasi dan revitalisasi terhadap Islam, yang dimaksudkan agar Islam kembali menempati posisinya yang layak yang telah ditetapkan Allah baginya. Yaitu sebagai penuntun dan pengatur segala urusan hidup manusia secara utuh dan menyeluruh (kaaffah). Allah SWT berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh.” (QS Al Baqarah : 208)
“Apakah kalian akan beriman dengan sebagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebagian (yang lainnya). Maka tidaklah balasan bagi orang yang mengerjakan yang demikian itu dari kalian, kecuali kehinaan dalam kehidupan dunia. Dan pada Hari Kiamat nanti mereka akan dikembalikan kepada azab yang sangat berat.” (QS Al Baqarah : 85)

Islam Sebagai Ideologi
Secara umum, ideologi (Arab : mabda`) menurut M.M. Ismail dalam Al Fikru Al Islami, adalah “al fikru al asasi yubna alaihi afkaar”, yakni pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun pemikiran-pemikiran lain. Pemikiran mendasar ini disebut juga aqidah, yang merupakan pemikiran menyeluruh tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan. Sedang pemikiran-pemikiran cabang yang dibangun atas dasar aqidah tadi, merupakan peraturan hidup manusia (nizham) dalam segala aspeknya : politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, dan sebagainya. Agar aqidah tersebut dapat melahirkan aneka peraturan hidup, ia haruslah bersifat akliah, atau dapat dikaji dan diperoleh berdasarkan suatu proses berpikir, bukan diperoleh melalui jalan taklid tanpa melibatkan proses berpikir. Aqidah yang semacam ini, disebut aqidah akliah, yang darinya dapat dibangun pemikiran cabang tentang kehidupan. Karena itu, dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi dapat didefinisikan sebagai “aqidah aqliyah yanbatsiqu ‘anha nizham”, atau aqidah akliyah yang melahirkan nizham (peraturan hidup) bagi manusia.

Definisi ideologi ini bersifat umum, dalam arti dapat dipakai dan berlaku untuk ideologi-ideologi dunia seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Dan tentu, dapat berlaku juga untuk Islam. Sebab Islam memang mempunyai sebuah aqidah akliyah, yaitu Aqidah Islamiyah, dan mempunyai peraturan hidup (nizham) yang sempurna, yaitu Syariat Islam.

Dengan demikian, tatkala kita menyebutkan istilah “ideologi Islam” sesungguhnya kita telah memelihara substansi Islam itu sendiri yaitu Aqidah dan Syariah tanpa mengurangi atau menambahinya sedikitpun. Aqidah dan Syariah-nya tetap itu-itu juga. Hanya saja, kita meletakkan keduanya dalam kerangka berpikir ideologis, untuk menghadapi situasi kontekstual umat saat ini, yang menganggap Islam sebagai “agama” dalam pengertian Barat yang sekuler.

Menjawab Tantangan Zaman
Tantangan zaman, dapat diartikan munculnya fakta, keadaan, atau problem baru seiring dengan perkembangan waktu. Misalnya, dulu tidak ada kloning, bayi tabung, dan transplantasi, namun kini kemajuan di bidang biologi dan kedokteran itu telah hadir di hadapan kita. Itu tantangan zaman. Dulu tidak terbayang ada sarana komunikasi dan informasi yang canggih seperti internet saat ini. Dengan adanya internet, berarti ada tantangan zaman. Penyakit AIDS, penggunaan narkoba, pergaulan bebas yang liar di kalangan muda-mudi, sekarang makin menggila. Ini adalah tantangan zaman. Sebelumnya tidak ada negara Israel. Namun sekarang Israel bercokol dan mengangkangi bumi Palestina yang suci dan diberkahi. Ini tantangan zaman. Kita umat Islam dulu memiliki sistem Khilafah sebagai institusi yang memungkinkan adanya kehidupan Islam, tetapi pada tahun 1924 Khilafah diluluhlantakkan oleh Mustafa Kamal yang murtad. Tiadanya Khilafah, adalah tantangan zaman. Sekarang penguasa negeri-negeri Islam telah mencampakkan ideologi Islam, menganut dan menerapkan ideologi Kapitalisme, serta menjadi agen-agen yang setia bagi negara-negara penjajah yang kafir. Ini betul-betul tantangan zaman. Demikian seterusnya.

Setiap tantangan, pasti butuh jawaban dan penyelesaian. Dalam hal ini, Islam sebagai ideologi sempurna secara potensial menyediakan jawaban-jawaban bagi segala masalah atau persoalan yang timbul di tengah manusia. Taqiyyuddin An Nabhani dalam Asy Syakshiyah Al Islamiyah (juz I/303) menguraikan secara ringkas metode (thariqah) Islam untuk memecahkan masalah, yaitu memahami fakta persoalan sebagaimana adanya, lalu memberikan solusi padanya. Solusi ini bisa berupa Syari’at Islam bila persoalannya berkaitan dengan hukum-hukum syara’, dan bisa pula berupa cara (uslub) dan sarana (wasilah) tertentu jika persoalan yang dihadapi tidak secara langsung berhubungan dengan hukum syara’, misalnya teknik dalam pertanian, kedokteran, kesehatan, dan sebagainya. Secara lebih khusus, dalam Nizhamul Islam (hal. 69), Taqiyyuddin An Nabhani menjelaskan metode Islam yang harus ditempuh para mujtahidin untuk memecahkan persoalan. Pertama, mempelajari dan memahami problem yang ada (fahmul musykilah). Kedua, mengkaji nash-nash syara’ yang bertalian dengan problem tersebut (dirasatun nushush). Ketiga, mengistinbath hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ untuk menyelesaikan persoalan yang ada (istinbathul hukmi).

Metode itulah yang dapat kita gunakan untuk menjawab setiap tantangan zaman. Secara ringkas, Islam menjawab tantangan zaman dengan cara memberikan pemecahan terhadap problem-problem baru yang muncul. Inilah pengertian yang benar mengenai bagaimana Islam menjawab tantangan zaman yang terjadi.

Dengan demikian, jelas tidak betul pendapat yang mengatakan bahwa dalam menjawab tantangan zaman, Islam menempuhnya dengan cara beradaptasi, menyesuaikan diri, atau mengubah hukum-hukumnya agar selaras dengan tuntutan keadaan. Dalihnya, Islam itu luwes, fleksibel, tidak kaku, tidak ekstrem, tetapi moderat, lunak, dan selalu bersikap kompromistis dengan realitas. Dalih batil itu kadang juga dilengkapi dengan kaidah ushul fiqih yang fatal kekeliruannya : Laa yunkaru taghayyurul ahkam bi taghayyuriz zaman wal makan. (Tidak boleh diingkari, adanya perubahan hukum karena perubahan waktu dan tempat) (Lihat Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, hal. 145).

Berdasarkan argumen-argumen sesat itu akhirnya mereka membuang hukum-hukum Islam yang dianggapnya biadab atau tidak sesuai dengan semangat orang zaman modern saat ini. Hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi pezina, haramnya riba, hukuman mati untuk orang murtad, harus dienyahkan dari muka bumi karena dianggap tidak berperikemanusaan, sudah usang, kuno, dan ketinggalan zaman. Begitu pula kewajiban jihad fi sabilillah dan kewajiban adanya Khilafah Islamiyah harus ditolak mentah-mentah atau diselewengkan dari pengertiannya yang hakiki, karena dianggap sebagai kegiatan kaum ekstremis, fundamentalis, serta tidak cocok dengan selera orang yang telah “maju” pikirannya.

Pendapat seperti ini, serta pola pikir yang melahirkan pendapat ini, sangat bertentangan dengan Islam. Karena pola pikir yang dipakai oleh mereka yang berpendapat seperti itu, adalah pola pikir khas Barat tatkala mereka berbicara tentang persoalan hukum dan kaitannya dengan kenyataan masyarakat yang ada. Hukum, menurut Barat, haruslah lahir dari masyarakat. Hukum adalah anak kandung, dan ibunya adalah masyarakat. Dengan kata lain, yang sumber hukum, adalah keadaan masyarakat itu sendiri. Karenanya, jika keadaan masyarakat berubah, berubah pulalah segala nilai, norma, dan pranata kehidupan.

Pandangan ini adalah pandangan kufur, yang bertentangan dengan Islam. Sebab dalam Islam sumber hukum adalah wahyu semata, bukan yang lain. Bukan kenyataan masyarakat, bukan tuntutan keadaan, bukan semangat kemodernan, bukan pula hal-hal lain yang sebenarnya merupakan alasan-alasan yang terlalu dicari-cari. Jika zina dan riba telah haram menurut wahyu, maka sampai Hari Kiamat tetap haram. Jika hudud wajib dilaksanakan menurut wahyu, maka statusnya tetap wajib sampai Hari Kiamat. Begitu pula jihad dan Khilafah yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, hukumnya tetap wajib dan tidak boleh dianulir atau dibatalkan oleh siapa pun sampai Hari Kiamat.

Seorang muslim yang meyakini pola pikir itu secara jazim (membenarkannya dengan pasti), sungguh dia telah murtad dan keluar dari agama Islam. Sebab, pandangan tersebut berarti menolak nash-nash yang qath’i tsubut (pasti sumbernya dari Rasulullah) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya) yang mewajibkan kita untuk terikat dengan hukum-hukum syara’ dan menyumberkan hukum-hukum syara’ itu dari al wahyu semata, bukan yang lainnya. Sekali lagi, sumber hukum dalam Islam adalah wahyu, bukan kenyataan masyarakat. Allah SWT berfirman :
“Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman sampai mereka menjadikan dirimu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan…” (QS An Nisaa` : 65)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home