Lembar Dakwah LABBAIK

Tuesday, January 16, 2007

Hijrah, Momentum Kebangkitan Ummat


“Ciri khusus kebangkitan umat kontemporer adalah sebuah kebangkita yang tidak saja bermodal semangat. Palagi hanya ungkapan verbal dan slogan” (Syaikh Yusuf Al Qorodhowi)

Waktu terus berputar, musim pun berganti. Seiring tibanya bulan Muharram, kita memasuki gerbang tahun 1428 H. tentu saja ada setumpuk harapan dan impian yang menggelora di dada kita menyambut dan menyertai datangnya tahun baru hijriyah ini.

Kita berharap akan lebih terjalinnya ukhuwah islamiyah, baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional. Impian bahwa umat ini akan kembali bangkit menjadi guru dunia (ustadziyatul 'alam) yang membimbing masyarakat dunia dengan peradaban tinggi dan akhlak mulia, kembali muncul.

Sudah 26 tahun sejak 1401 Hijriah ditandaskan sebagi awal kebangkitan umat. Sudahkah umat di ambang kemenangan? Yusuf Qaradhawi, ulama Qatar yang telah menjadi milik umat Islam internasional memberikan beberapa ukuran tentang kebangkitan umat. Ia berpendapat bahwa "ciri khusus kebangkitan umat kontemporer adalah sebuah kebangkitan yang tidak saja bermodal semangat. Apalagi hanya ungkapan verbal dan slogan.

Kebangkitan yang benar adalah kebangkitan yang didasarkan pada komitmen Islam dan adab-adabnya. Bahkan pada sunah-sunnahnya pula." Ungkapan ini menantang kita umat Islam untuk benar-benar berbuat maksimal dalam merealisasikan kebangkitan Islam ke depan. Untuk itu, awal tahun baru Islam ini bisa dijadikan sebagai momentum terbaik untuk menyusun strategi yang lebih baik demi kebangkitan umat Islam.

Namun, di samping setumpuk harapan dan impian, kita juga tak boleh lupa melihat kembali catatan perjalanan masa lalu. Utamanya setahun belakangan ini. Ada sederet catatan yang mewarnai kehidupan kita sebagai umat, sepanjang tahun 1427 H yang baru saja berlalu. Ada yang manis, namun banyak pula yang pahit. Ada saat ketika kita melalui taman-taman nan indah. Namun, tak jarang kita pun harus meniti jalan yang penuh onak dan duri. Senang dan susah, pahit maupun manis, adalah catatan pengalaman hidup yang menjadi sejarah setiap orang dan setiap umat.

Kita harus berlaku jujur, catatan sejarah kita setahun terakhir ini masih bertabur luka dan berwarna kusam. Masih banyak tragedi-tragedi pilu yang menimpa negeri ini. Banjir bandang, tanah longsor, dan lain sebagainya.

Potret di negeri ini masih sangat memprihatinkan. Masih sangat banyak umat Islam yang hidupnya di bawah garis kemiskinan. Sungguh tragis, hanya demi uang 300 ribu rupiah bantuan tunai langsung dari pemerintah masyarakat kita harus rela berdesak-desakkan bahkan sampai ada yang meregang nyawa karena terhimpit dan kepanasan. Di sisi lain, di saat rakyat antre hanya demi 300 ribu rupiah, anggota dewanpun tidak mau ketinggalan untuk mendapatkan tunjangan yang besarnya berpuluh kali lipat dari subsidi untuk rakyat kecil. MA juga tidak mau ketinggalan dengan berbagi mobil mewah sebagai penunjang operasional kerja di tengah-tengah rakyat yang masih krisis. Potret ketidak adilan di sebuah negeri yang indah!

Bisakah kita bangkit manakala masih bertebar potret ketidakadilan di negeri ini? Kita tidak boleh pesimis dalam menghadapi kenyataan hidup ini. Berdoa dan berserah diri kepada Allah SWT sembari mempersiapkan diri untuk berusaha maksimal dan mendekatkan diri kepada sang Maha Kuasa. Khususnya umat Islam Indonesia harus bangkit menjemput fajar kebangkitan umat.



Hijrah: Kebangkitan Ummat melawan Ketidak Adilan

Kurang lebih 14 abad yang lalu (24 September 622 M), terjadi peristiwa yang dipandang sebagai momentum penting dalam sejarah umat Islam, yaitu hijrah Nabi Muhammad SAW. Hijrah dari Makkah ke Medinah bukanlah peristiwa migrasi biasa, tapi langkah strategis merealisasikan proyek raksasa dalam membangun peradaban kaum muslimin. Hijrah bukanlah masa-masa transisi yang biasa dilalui dalam rentang sejarah suatu bangsa melainkan sebuah babakan sejarah yang bernilai strategis dalam upaya mewujudkan cita-cita individual dan kolektif umat.

Secara harfiah hijrah berarti perpindahan dari satu negeri ke negeri lain, dari satu kawasan ke kawasan yang lain, atau perubahan lokasi dari titik tertentu menuju ke titik yang lain. Secara historis hijrah bermakna keberangkatan Rasulullah SAW dengan sahabatnya dari Makkah ke Yastrib yang kemudian disebut al-Madinah al-Munawwarah.

Selanjutnya hijrah diberi makna etis-religius yang lebih universal dan bernilai kesejatian, yaitu meninggalkan tuntutan-tuntutan duniawi menuju kesalihan, kesucian, dan kemuliaan yang lebih tinggi dan sejati atau melakukan transformasi spritualitas dan segala yang bersifat maknawiyah. Untuk itu kaum muslimin memandang proses perubahan dan transformasi (taghyur dan tahawwul) dari keadaannya yang asal, baik secara ruhi maupun secara jasadi, sebagai unsur terpenting dalam hijrah. (sabili, No. 16 Th. XI 27 Februari 2004)

Hikmah Hijrah

Ada beberapa pelajaran berharga dari hijrahnya Rasulullah SAW yang bisa kita kemukakan dalam membangun kembali umat Islam ke depan, antara lain adalah:

Pertama, hijrah merupakan langkah keluar dari krisis yang mengepung dan langkah strategis menuju kepastian tegaknya Islam. Pada saat umat Islam masih minoritas, mereka dalam kondisi terkekang dan terkungkung akibat kesewenang-wenangan penduduk mayoritas. Klimaksnya adalah bagaimana mencari solusi perlindungan tempat yang aman dan leluasa untuk menjalankan syari'at Islam. Karenanya, Rasululullah SAW memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan hijrah dengan melakukan pembenahan diri dari praktik-praktik kemusyrikan. Artinya, menjaga diri agar tidak terkontaminasi oleh kaum musyrikin, baik dari menyembah berhala, berkata kotor, membunuh dan sebagainya. Hijrah ke Habsyah dan juga Madinah merupakan solusi alternatif untuk menyelamatkan akidah dari rongrongan musuh-musuh Allah.

Pada saat ini telah terjadi kemungkaran, kemaksiatan dan ketidak adilan merajalela baik di kalangan birokrasi, politisi, hartawan atau rakyat biasa. Untuk itu, hijrah merupakan langkah strategis dalam membangun kembali diri menjadi lebih islami. Hijrah yang dimaksudkan di sini bukanlah hanya sekedar bermakna hijrah fisik tetapi juga meliputi ruhani. Dalam artian, berpindah dari maksiyat ke perbuatan taat kepada Allah SWT. Hijrah seperti ini merupakan konsep perbaikan diri. Masing-masing harus memperbaiki diri: DPR perbaiki diri, MA perbaiki diri, Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota dan semuanya memperbaiki diri dengan berhijrah. Kalau masing-masing personal umat Islam telah terbaiki sikap dan prilakunya maka akan tumbuh semangat menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya. Dengan demikian, kebangkitan umat Islam akan terealisasikan.

Kedua, pentingnya sebuah pengorbanan. Ketika Rasululullah SAW. menyampaikan kepada Abu Bakar Ra. bahwa Allah SWT memerintahkannya untuk berhijrah, dan mengajak sahabat-sahabatnya untuk berhijrah bersama, Abu Bakar menangis kegirangan. Dan seketika itu juga ia membeli dua ekor unta dan menyerahkannya kepada Rasulullah SAW untuk memilih yang dikehendakinya. Terjadilah dialog berikut:
"Aku tidak akan mengendarai unta yang bukan milikku."
"Unta ini kuserahkan untukmu."
"Baiklah, tapi aku akan membayar harganya."

Setelah Abu Bakar bersikeras agar unta itu diterima sebagai hadiah, namun nabi SAW tetap menolak, Abu Bakar akhirnya setuju untuk menjualnya. Mengapa nabi SAW bersikeras untuk membelinya? Bukankah Abu Bakar sahabat beliau? Dan, bukankah sebelum ini bahkan sesudahnya Nabi SAW selalu menerima hadiah dan pemberian Abu Bakar? Di sini terdapat satu pelajaran yang sangat berharga.

Rasulullah SAW ingin mengajarkan bahwa untuk mencapai suatu usaha besar, dibutuhkan pengorbanan maksimal dari setiap orang. Beliau bermaksud berhijrah dengan segala yang dimilikinya, tenaga, pikiran dan materi bahkan dengan jiwa dan raga beliau. Dengan membayar harga unta itu, Nabi mengajarkan kepada Abu bakar dan kepada kita bahwa dalam mengabdi kepada Allah, janganlah mengabaikan sedikit pun dari kemampuan, selama kita masih memiliki kemampuan itu. Allah berfirman: "Sesungguhnya kepada Tuhanlah tempat kembali." (QS. 96:8).

Deskripsi ini mengajari kita untuk memaksimalkan setiap potensi yang ada dengan menumbuhkan semangat berkorban demi menggapai kemenangan umat Islam. Inilah secuil hikmah atau pelajaran dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam peristiwa hijrah. Bertekad dengan penuh keyakinan untuk merubah sikap menjadi lebih baik dan mengoptimalkan segenap potensi yang dilandasi oleh semangat pengorbanan demi perjuangan menuju kemenangan yaitu kebangkitan umat Islam.

Tentu masih banyak pelajaran dan hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW., sehingga wajar jika Umar bin Khattab menjadikan peristiwa tersebut sebagai awal kalender dalam Islam. Hijrah hari ini tidaklah selalu dimaknakan dengan makna fisik, tetapi lebih jauh dari itu: perpindahan dari keterbelakangan menuju kemajuan, dari keterpinggiran menuju central (pusat), dari ketertindasan menuju kemenangan. Dari ketidak adilan menuju keadilan dan kemakmuran. Saling bahu-membahu untuk menggapai kemenangan umat Islam adalah mutlak harus kita lakukan di tahun 1427 Hijriah ini.

Wallahu a'lam bish-shawab. [SY]

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home