Lembar Dakwah LABBAIK

Sunday, December 17, 2006

KESETIAAN

Seringkali kita mendengar sebuah ungkapan bahwa hidup adalah pilihan. Di dalam setiap pilihan terdapat konsekuensi yang harus dijalankan selain hak yang akan kita dapatkan. Termasuk di dalam berkeyakinan dan beragamapun kita dihadapkan ke dalam berbagai pilihan. Banyak sekali jenis keyakinan maupun agama yang ada di sekeliling kita dan semuanya menawarkan hak-hak menuntut kewajiban-kewajiban. Islam adalah salah satu dari sekian banyak pilihan tersebut, dan Allah Ta’ala memberi kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih Islam atau memilih keyakinan yang lain, namun ingat ! bahwa setiap pilihan ada konsekuensinya tersendiri, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thogut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat dan tidak akan putus ...” (QS. al-Baqarah: 256).
Ketika kita memilih Islam yang diyakini sebagai sebuah agama yang benar, maka tidak sedikit konsekuensi dan tuntutan Islam yang harus kita jalankan. Sehingga digambarkan dalam sebuah hadits bahwa dunia ibarat penjara bagi orang-orang mukmin, dikarenakan begitu banyaknya aturan-aturan yang harus dipatuhi ketika kita ber-Islam. Disamping itu Hasan Al-Banna (ulama Mesir) pernah berkata bahwa kewajiban kita lebih banyak daripada waktu yang tersedia. Ini menggambarkan betapa tuntutan Islam terhadap seorang muslim “sangat sulit untuk kita hitung dengan jari”.

Secara umum konsekuensi dan tuntutan tersebut bisa kita gali di dalam kalimat syahadatain. Pernah suatu ketika Rasulullah menawarkan kalimat ini kepada Abu Jahal. Beliau berkata kepadanya, maukah engkau aku beritahu sebuah kalimat yang dengan kalimat itu Bangsa Arab akan menundukkan Kerajaan Romawi dan Persi. Mendengar tawaran tersebut Abu Jahal kemudian berkata, jangankan satu kalimat sepuluh kalimatpun kalau memang demikian aku akan siap mendengarnya. Lalu Rasulullah berkata, katakanlah bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Ternyata kalimat yang ditawarkan Rasulullah itu adalah kalimat syahadat dan begitu Abu Jahal tahu bahwa kalimat itu adalah kalimat syahadat, sontak Abu Jahal menolaknya mentah-mentah. Penolakan Abu Jahal bukanlah penolakan seorang yang “bodoh” , tetapi justru Abu Jahal sangat tahu bahwa dibalik perkataan itu tergantung begitu banyak resiko dan tuntutan yang harus dipikulnya.

Salah satu bentuk resiko, tuntutan atau konsekwensi yang harus dijalankan ketika seseorang bersyahadat adalah dia harus berwala’ dan baro’. Apa yang dimaksud dengan wala’?, Ibnul Arobi berkata, ada dua orang bertengkar kemudian datang orang ketiga untuk mendamaikan keduanya, namun si penengah ini mempunyai kecederungan kepada salah satunya, lalu dia membela dan pilih kasih terhdapnya, maka dapat dikatakan orang tersebut telah berwala’ kepada salah satu orang yang bertikai itu. Adapun arti wala’ dalam istilah adalah kecintaan seorang hamba terhadap Robbnya dan Nabi-Nya dengan mengikuti perintah dan menjauhi larangan dan mencintai para wali-Nya dari orang-orang yang beriman. Sedangkan bara dalam bahasa adalah dari kata baraa, berarti memutuskan atau memotong, yang dimaksud di sini adalah memutuskan hubungan dengan ornang-orang di luar Islam, dengan demikian dia tidak mencintai mereka dan tidak tolong menolong dengan mereka. Arti bara secara istilah adalah menjauhkan, membebaskan diri dan mengumumkan permusuhan setelah memberikan alasan dan peringatan.

Lalu siapa yang harus kita berikan kesetiaan (wala’) dan siapa yang harus kita jauhi (bara) ?. Loyalitas harus kita berikan kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, sebagaimana Allah TA’ALABerfirman:
“Sesungguhnya wala’ kamu hanyalah Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi wala’-nya, maka sesungguhnya hizbullah itulah yang pasti menang.”(QS. al-Ma’idah : 54-55).

Wala’ (kesetiaan) kepada Allah adalah wala’ (kesetiaan) yang harus pertama kali kita wujudkan, karena inilah dasar utama kita ber-Islam. Adalah keliru ketika kita mengaku sebagai seorang muslim tetapi kita tidak mencintai Allah. Wala’ kita kepada Allah adalah dengan tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu apapun, hanya Allahlah satu-satunya yang kita sembah, sat-satunya tempat bergantung dan satu-satunya tempat kita meminta pertolongan. Allah Ta’ala, berfirman:“Dan diantara manusia ada yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah...”(QS. al-Baqarah : 165).

Setelah kita mencintai Allah, maka kita harus mencintai apa yang dicintai-Nya dan kita dituntut pula untuk membenci apa yang dibenci-Nya. Siapa yang dicintai Allah adalah mereka yang harus kita berikan kesetiaan dan kecintaan kita kepada mereka karena Allah, yaitu rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Kita harus mencintai Rasulullah karena tidak dikatakan sebagai orang yang beriman orang yang tidak mencintai Rasulullah, dengan demikian Allah akan membenci orang-orang yang tidak mencintai rasul-Nya. Dan setiap kecintaan menuntut sebuah realisasi sebagai wujud kecintaan kita kepada yang kita cintai dan wujud kecintaan kita kepada Rasulullah adalah kita mengikuti sunnah-sunnah (aturan-aturan) –nya, baik aturan yang wajib maupun sunnah dan meninggalkan hal-hal yang makruh apalagi haram. Sehingga tidak akan diterima amalan seseorang ketika tidak mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah meskipun dilaksanakan dengan ikhlas karena Allah. “Katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Ali-Imran: 31-32). Terkait dengan kecintaan kepada Rasulullah ada suatu kisah seorang sahabat yang sangat menarik untuk kita ketahui dan kita teladani, beliau adalah Ibnu Umar Ra. Ibnu Umar adalah seorang sahabat yang sangat detail memperhatikan dan meneladani perilaku Rasulullah SAW. Sehingga saking detailnya beliau dalam meneladani apa yang dilakukan Rasulullah sampai-sampai sesutu yang sebenarnya tidak perlu untuk dilakukan, karena Rasulullah melakukannya beliau lakukan. Misalnya dalam sebuah perjalanan naik unta, Ibnu Umar pernah melihat Rasulullah memutarkan untanya di suatu tempat. Pada kesempatan yang lain ketika Ibnu Umar melakukan sebuah perjalanan dan kebetulan melewati jalan dimana Rasulullah pernah memutarkan untanya beberapa kali, maka Ibnu Umar-pun akan memutarkan untanya beberapa kali persis seperti yang dilakukan oleh Rasulullah

Disamping itu kenapa kita harus mengikuti sunnah, karena mengikuti sunnah adalah salah satu prasarat kemengan umat ini. Kita masih ingat kisah pasukan kaum muslimin di bawah pimpinan panglima Amr bin Ash yang mengalami kesulitan untuk mengalahkan Pasukan Romawi dalam sebuah oprasi penaklukan Mesir, padahal peperangan sudah memakan waktu berbulan-bulan lamanya. Selidik demi selidik, ternyata ada satu sunnah Rasulullah yang ditinggalkan oleh pasukan Kaum Muslimin pada waktu itu. Yaitu bersiwak (gosok gigi). Dan memang terbukti setelah kaum muslimin melakukan siwak, kemenganpun datang tak lama setelah itu. Nah berapa banyak sunnah Rasul yang telah ditinggalkan oleh Kaum Muslimin pada saat ini ?.

Kemudian, wala’ (kesetiaan) tersebut harus juga kita berikan kepada orang-orang yang beriman. Orang-orang yang beriman adalah saudara kita dunia dan akhirat, itulah persaudaraan yang hakiki, persaudaraan yang didasarkan atas suatu kesamaan aqidah dan tidak didasarkan atas kepentingan dunia. Wujud dari persaudaraan tersebut adalah kita memberikan wala’ kepada meraka dengan memenuhi hak mereka sebagai seorang muslim. Diantaranya: kecintaan, pertolongan, menghormatinya, menylaminya, dan menjaga kehormatannya. “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka...”(QS. al-Fath: 29).

Apabila kita melihat realitas saat ini betapa banyak saudara-saudar muslim kita mengalami keterpurukan serta dinistakan oleh musuh-musuh Islam. Palestina, Afganistan, Libanon, Irak, Thailannd, Filiphina, Checnya dan masih banyak wilayah lainnya yang mengalami hal-hal serupa. Saudara-saudara kita itu memiliki hak atas kita, dan kita memiliki kewajiban untuk menunaikan hak-hak mereka sebagai seorang muslim, semampu kita. Derajat paling minimal sebagai bukti bahwa kita memenuhi hak-hak mereka adalah memberikan kepedulian kita kepada mereka dengan mendoakan mereka. Namun ketika tidak adak kepedulian sama sekali terhadap nasib yang dialami oleh mereka, maka patut dipertanyakan keber-Islamannya. “Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan umatku, maka dia tidak termasuk ke dalam golonganku” ( hadits). Muslim dengan muslim yang lainnya itu ibarat satu tubuh apabila salah satu bagian tubuhnya sakit maka sakit pula bagian tubuh yang lainnya.

Kecintaan akan senantiasa beriringan dengan kebencian. Maka sebuah wala’ (kesetiaan) harus senantiasa diiringi dengan baro’ (Kebencian). Wala’ kepada Allah, Rasulullah dan orang beriman harus diiringi dengan baro’ kepada Thogut (segala sesuatu yang diibadahi selain Allah) dan kepada mereka yang mengingkari Allah, malaikat, kitab, rasul dan hari akhir. “Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-ornag itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka”(QS. al-Mujadilah: 22)

Umat yang paling besar permusuhannya terhadap Islam dan paling keras penentangannya terhadap Allah dan rasul-Nya adalah Yahudi dan Nasrani, sehingga Allah memberitakan kepada kita (kaum muslimin) bahwa “orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepad kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka.”(QS. al-Baqarah: 120).

Barat boleh dibilang sebagai representasi dari kedua umat tersebut. Barat saat ini sedang mengalami masa keemasannya dan dominan terhadap peradaban lainnya. Namun Huntington meramalkan bahwa peradaban barat akan mampu digeser oleh dua peradaban besar lainnya yaitu Islam dan Confusianime (China), sehingga Barat menjadi khawatir akan posisinya. Dari situ kemudian munculah strategi-strategi yang digulirkan Barat untuk mempertahankan eksistensi dominasinya. Dua diantara strategi tersebut adalah perang ekonomi yang dilancarkan terhadap China, karena memang kekauatan China terletak pada sektor perekonomian, untuk tahun 2005 & 2006 saja tingkat pertumbuhan ekonomi China mencapai angka di atas 10%, sedangkan Indonesia ketika masa jaya-jayanya (jaman ORBA) tingkat pertumbuhan ekonominya masih berada di bawah angka 7%. Maka pantas kalau Barat sangat gerah dengan pesatnya tingkat pertumbuhan perekonomian China ini. .

Strategi ke Dua adalah perang pemikiran yang dilancarkan terhadap dunia Islam. Melalui perang pemikiran inilah wala’ dan baro’ Umat Islam diobok-obok, Wala’ yang seharusnya diberikan kepada Kaum Muslimin dan baro’ yang seharusnya diberikan kepada Yahudi dan Nasrani (serta penentang-penentang Allah yang lain) malah sebaliknya. Betapa banyak kaum muslim yang menganggap para mujahidin, para da’i, para ustadz dan para aktifis Islam lainya sebagai biang keladi dari sejumlah aksi kekerasan termasuk aksi teror yang belakngan sering terjadi di negeri ini, dan bahkan pesantren dianggap sebagai basis perekrutan para teroris. Sebaliknya betapa banyak pula kaum muslimin yang menganggap pembohong-pembohong Holywood sebagai pahlawan bahkan dijadikannya sebagai idola.

Suatu ketika Bush pernah menguji wala’ dan baro’ kaum Muslimin di seluruh dunia dengan memberikan dua pilihan kepada semua pihak, baik organisasi ataupun negara se- dunia melalui perkataannya yang sangat terkenal yau are whit us or yau are whit terorist. Hampir seluruh negara menyambut ajakan Bush dengan memilih alternatif yang pertama (perang melawan teroris), termsuk Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan hanya lima negara yang memilih alternatif kedua (Sudan, Iran, Korea Utara, Suriah, Libya). Permasalahannya adalah pemaknaan teroris yang dibangun oleh barat ternyata bertendensi kepada Islam, maka kemudian timbulah beberapa pertanyaan, apakah benar aksi-aksi teror yang terjadi belakangan ini dilakukan oleh kaum muslimin yang mengatasnamakan perjuangan Islam? Lalu kalau memang benar teror tersebut dilakukan oleh kaum muslimin yang mengatasnamakan perjuangan Islam, kenapa yang dirugikan oleh aksi-aksi tersebut justru umat Islam dan bahkan dakwah yang dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam menjadi tersendat karenanya? Atau jangan-jangan isu terorisme itu adalah bagaian dari proyek perang peradaban yang dilancarkan oleh barat melalui salah satu instrumennya yaitu perang pemikiran untuk mengacak-acak wala’ dan baro’ kaum muslimin. Sebagai kaum Muslimin, kita berikan kepada siapa wala’ (kesetiaan) dan baro’ (kebencian) kita?
Wallahu a'lam bish-shawab [AA]

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home