Lembar Dakwah LABBAIK

Saturday, January 19, 2008

BIJAKSANA KETIKA MEMANG HARUS BERBEDA



Besok, tanggal 31 Maret 2007 umat muslim akan kembali bersua dengan hari dimana nabinya dilahirkan. Menjadi sebuah tradisi tersendiri bagi sebagian kalangan dari kaum muslimin untuk tidak lupa mengadakan suatu acara demi memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sejak hari kemarin mungkin sudah banyak di antara kita yang tersibukkan oleh berbagai macam persiapan berkenaan dengan acara yang memang secara umum menjadi ritual yang diperingati oleh umat Islam, khususnya di Indonesia.

Sudah bukan hal yang asing perdebatan beberapa kalangan umat Islam terhadap pelaksanaan acara ritual peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ada yang mengatakannya tidak boleh karena hal itu memang tidak dicontohkan oleh para sahabat maupun para tabi’in serta ulama-ulama salaf, tetapi ada juga yang mendukung diadakannya acara-acara peringatan kelahiran Nabi dengan berbagai macam argumentasi yang mereka kemukakan. Masing-masing bersikukuh dengan pendiriannya, tidak jarang kemudian hal ini menjadi salah satu sumber dari perselisihan yang terjadi di tubuh umat Islam sendiri. Tentunya jauh di dalam hati kecil kita tidak ingin hal itu terjadi. Entah memang kita sependapat dengan yang membolehkan melaksanakan acara peringatan, ataupun mungkin bagi kita yang tidak. Karena memang jika kita mencoba untuk secara bijak merenungkan, perselisihan yang di sebabkan oleh perbedaan pendapat itu bukan menjadi suatu hal yang positif bagi umat Islam, tetapi justru menjadi sesuatu yang bersifat kontraproduktif bagi perkembangan umat Islam itu sendiri. Ada baiknya kita mencoba untuk mendialogkan hal tersebut secara dewasa, agar nantinya perbedaan yang ada tidak menjadi sumber perpecahan, tetapi menjadi suatu sumber kekuatan sinergis yang meledakkan potensi umat yang sudah terlalu lama terpendam karena berbagai perbedaan yang kontraproduktif tersebut.

Sekilas Tentang Perbedaan
Perbedaan menjadi suatu hal yang niscaya dalam kehidupan manusia, karena memang manusia antara yang satu dengan yang lainnya berbeda dan sama sekali tidak ada yang serupa. Bagi yang dilahirkan kembar-pun, pastinya ada saja yang membedakan mereka. Entah itu perbedaan pada struktur fisik, apalagi perbedaan dalam hal rasa, pemikiran, kesukaan, dan sebagainya. Oleh karena itu sesungguhnya jika kita mengharapkan keseragaman dalam realitas hidup sesama manusia, maka hal itu menjadi sesuatu yang mustahil adanya, karena Allah sendiri sudah menggariskan dalam Al-Qur’an akan adanya sunatullah perbedaan tersebut dengan firman-Nya:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa…"(QS. Al-Hujurat: 13).

Dalam ayat tersebut Allah telah menegaskan kepada kita semua akan salah satu karakteristik dari penciptaan-Nya terhadap makhluk yang bernama manusia. Dikatakan bahwasanya kita dicipta atas seorang laki-laki dan seorang perempuan. Ini mengindikasikan akan perbedaan. Selanjutnya Allah juga memfimankan telah menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, itupun merupakan indikasi akan keberbedaan. Namun, dari kesemua karakter keberbedaan yang Allah sebutkan, sesungguhnya hal itu dapat menghadirkan makna mendalam yang memunculkan kebahagiaan. Allah telah mencipta kita dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kita tidak dapat membayangkan bila kehidupan dunia hanya terdiri atas kaum laki-laki saja, ataupun kaum perempuan saja. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan, berbeda tetapi bukan justru menjadi sumber keberpecahan, melainkan menjadi penyebab datangnya kebahagiaan, contoh salah satunya seperti pernikahan, dimana syarat fitrahnya harus terdiri atas seorang laki-laki dan perempuan. Lalu, Ia juga mentakdirkan akan keberbedaan akan kebangsaan dan kesukuan, bukan menjadi sumber yang mengarah pula ke perpecahan, tetapi sekali lagi menjadi salah satu sumber penyebab kebahagiaan. Kitapun tidak bisa membayangkan jika di tengah kehidupan bermasyarakat, kita hanya bertemu orang Jawa saja, atau orang Sunda saja, atau orang Minang saja. Kiranya hidup menjadi hampa tiada makna. Karena yang kita hadapi itu-itu saja, menjadi membosankan karena tiada beda. Tetapi Allah mencipta manusia dengan berbagai ragam dan macam keberbedaan. Mulai dari berbeda wujud fisik, pola pikir, selera dan kecenderungan rasa, suku dan bahasa, hingga berbeda dalam varian bangsa. Lalu, apakah hikmah dari sunatullah perbedaan itu? Salah satunya adalah agar kita dapat saling kenal-mengenal. Dan, menjadi satu penyebab bahagia pula ketika kita dapat mengenal saudara kita dengan segala keberbedaan hidup yang melatarbelakangi mereka. Namun, menjadi penutup dari "tema bahasan’’ keberbedaan ini adalah, "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa’’ .

Bukan sebuah masalah tentang keberbedaan satu sama lain di antara kalian, tetapi yang menjadi inti poin adalah pesan tentang ciri orang yang paling mulia di antara kalian, yaitu orang-orang yang paling bertaqwa. Demikian kiranya penjelasan tematis dari ayat tersebut. Jadi, berbeda adalah niscaya, tapi berbeda adalah pula sumber bahagia.

Berbeda Dalam Agama
Jika di atas merupakan penjelas dari beda yang niscaya, maka selanjutnya akan dibahas beda yang tidak sedikitpun dapat diterima. Beda yang dimaksud yaitu beda dalam hal keyakinan beragama. Beda dalam hal ini sangat tidak dapat ditolerir. Seseorang yang memeluk agama Islam, maka ia disebut muslim. Sedangkan seseorang yang tidak memeluknya, maka ia disebut kafir. Maka antara seorang muslim dan seorang kafir jelas berbeda, sebagaimana bedanya antara citraan kata mulia dan hina. Seorang muslim adalah makhluk yang mulia, sebagaimana Allah telah berfirman:
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa’’. (QS. Al-Hujurat: 13)

Sebaliknya, Allah pun menyebut orang kafir itu hina, seperti yang difirmankan-Nya dalam beberapa ayat yang di antaranya: "Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina’’. (QS. Al-Mujadilah: 20)
"Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, maka bagi mereka azab yang menghinakan’’. (QS. Al-Hajj: 57)

Perbedaan dalam hal keyakinan agama adalah perbedaan yang tidak dapat sama sekali dipersatukan. Ia bukanlah perbedaan yang niscaya, tetapi perbedaan yang mengarah kepada petaka. Oleh karena itu, dalam Islam, pernikahan yang dilakukan antara seorang muslim dan seorang kafir itu hukumnya haram, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an (QS. Al-Mumtahanah: 10, Al-Baqarah: 221). Terkait permasalahan ini, jumhur ulama pun menyepakati keharaman pernikahan beda agama, di antaranya Al-Imam Ibnu Katsir, Al-Qurthubiy, Ibnu Abdil Barr, atau yang hidup di zaman sekarang seperti Syaikh Shalih Al-Fauzan dan lain-lain. Permasalahan ini sangat serius dan harus benar-benar kita perhatikan. Agar nanti tidak ada lagi yang berpendapat bolehnya kawin lintas agama, seperti yang belakangan terjadi pada sekelompok aktivis yang melabelkan dirinya dengan Jaringan Islam Liberal (JIL), walaupun pada kenyataannya yang mereka bawa sama sekali bukan bagian dari ajaran Islam.

Masih berkenaan dengan berbeda dalam keyakinan agama, hubungan nasab antara anak dan orang tua pun dapat putus dikarenakan keberbedaan ini, sebagaimana kisah para sahabat seperti Abu Bakar dan Abdullah bin Rawahah dengan ayah mereka yang kafir, atau juga kisah Saad bin Abi Waqqash serta Mush’ab bin Umair dengan masing-masing Ibu mereka. Hal ini menjadi suatu ajaran yang sangat penting dan bersifat prinsipil. Oleh karenanya mesti benar-benar kita camkan dan perhatikan permasalahan mengenai keyakinan ini; "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi". (QS. ’Ali Imran: 85).

Hal lain yang agak memiliki kesamaan pada bahasan keberbedaan pada dimensi agama ini adalah terkait masalah sinkretisme dalam beragama. Banyak fenomena di sekitar kita yang menunjukkan betapa umat Islam banyak yang mencampur adukkan keimanan mereka dengan perbuatan-perbuatan syirik kepada Allah, padahal hakikatnya semua itu adalah perbuatan yang sangat dilarang dan dapat mengeluarkan seseorang dari diinul Islam. Maka jika kita ingin ber-Islam, hendaknya kita mensuci-murnikan segala ketaatan hanya kepada Allah semata tanpa sedikitpun tercampur adukkan dengan hal-hal yang lain di luar daripadanya, "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus". (QS. Al-Bayyinah: 5).

Berbeda Pendapat Dalam Ajaran Agama
Salah satu karakteristik yang kental dalam tubuh umat Islam adalah adanya penafsiran yang bermacam-macam terhadap perintah-perintah dalam agama. Kita mungkin sudah mafhum akan adanya beberapa madzhab dalam Islam yang masing-masing tidak jarang memiliki pendapat beda terhadap ajaran dalam agama, salah satunya adalah perbedaan mengenai qunut dalam sholat Shubuh. Bagi mereka yang memiliki pendapat bahwa qunut Shubuh itu sunnah, mereka berargumentasi dari pendapat Imam Asy-Syafi’i. Tetapi bagi mereka yang mengatakan bahwa itu bukanlah merupakan sebuah perbuatan sunnah, mendasarkan perbuatannya kepada Imam-Imam lain seperti Imam Ahmad bin Hambal. Tetapi apakah semua itu menjadikan para Imam madzhab itu saling berselisih, tentunya tidak, bahkan mereka saling legowo terhadap perbedaan pendapat itu, hingga seorang Imam Malik pernah berkata, "Saya seorang manusia biasa, dimana adakalanya pendapat saya tentang suatu hal itu keliru, dan terkadang juga benar. Oleh sebab itu perhatikanlah secara cermat pendapatku. Jika sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ambillah. Sedangkan pada pendapat yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah".

Para Imam Madzhab memang banyak memiliki pendapat yang berbeda antara satu dan lainnya, bahkan konon perbedaan antara Imam Syafi’i dan Imam Hambali terdapat sedikitnya sejumlah tiga ribu perbedaan dalam masalah fiqih, tapi toh mereka tidak sedikitpun saling mencela. Agak berbeda dengan kondisi pada zaman sekarang yang perbedaan itu cenderung di tonjolkan yang kemudian dapat menyebabkan perpecahan. Terkadang dalam hal fiqih, masih ada ulama yang melihatnya dari sudut pandang hitam dan putih, dan tidak jarang perbedaan-perbedaan itu menjadi sumber perpecahan, contohnya misalnya qunut Shubuh tadi. Terlihat di tengah-tengah masyarakat bahwa terkadang gara-gara yang satu memakai qunut dan yang satu tidak, maka menjadi penyebab mereka berselisih. Padahal seharusnya kita harus bijak dan dewasa memahami perbedaan pada wilayah-wilayah ini. Lain jika memang perbedaan itu memasuki wilayah-wilayah akidah dan pokok-pokok dalam ibadah, maka tidak dibolehkan adanya perbedaan. Ada satu cerita yang begitu mengandung pelajaran besar dari salah seorang pemikir dakwah dari Mesir, Hasan Al-Banna. Dikisahkan, konon ia pernah ditanyakan oleh salah seorang jama’ah berkenaan dengan mana yang lebih benar antara sholat Shubuh dengan menggunakan qunut dan sholat Shubuh yang tidak menggunakan qunut. Apa jawaban Al-Banna? Dengan bijak ia menjawab, kedua-duanya benar, dan yang tidak benar adalah mereka yang tidak sholat Shubuh. Ini yang merupakan perkara yang cenderung menghilang dalam tubuh umat Islam, yaitu tentang toleransi dalam hal-hal yang sifatnya ikhtilaf atau masih diperselisihkan oleh para ulama. Padahal seorang ulama salaf bernama Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata, "Apabila engkau melihat seorang beramal dengan amalan yang diperselisihkan dan engkau mempunyai pendapat yang berbeda, maka janganlah kamu mencegahnya".

Bijaksana Manakala Berbeda
Umat Islam akhir-akhir ini kondisinya sangat memprihatinkan. Salah satu hal yang menjadi penyebabnya adalah keterpecahan dalam internal umatnya sendiri. Perkara-perkara kecil yang memang masih dalam wilayah perselisihan para ulama tidak jarang menjadi sumber perpecahan di antara mereka. Suatu persoalan kadang dipandang dengan kacamata yang sempit, sehingga perpecahan di tubuh umat semakin menjadi-jadi. Melihat kondisi ini hendaknya kita mencoba untuk menginsyafi diri. Apakah kitapun masih memiliki cara pandang yang demikian dalam melihat perbedaan. Oleh karena itu yang harus kita miliki adalah sikap dewasa dan bijaksana dalam memandang keberbedaan itu.

Terkait dengan maulid nabi, cobalah kita saling menyikapi perbedaan itu dengan kacamata positif. Bagi kita yang menganut bolehnya mengadakan acara peringatan dan semacamnya, maka cobalah jangan mencela mereka yang tidak melaksanakannya. Namun justru belajarlah untuk memahami pendirian mereka yang mungkin lebih cenderung untuk melakukan amal yang memang sudah ada contohnya. Dan sebaliknya, bagi mereka yang memiliki pemahaman tidak bolehnya menyelenggarakan acara maulid nabi, cobalah berfikir bahwa mungkin memang acara itu diselenggarakan untuk menapak tilasi perjalanan hidup nabi agar kemudian menjadi momentum untuk lebih dapat mencintai nabi dan mengaplikasikan pola hidup beliau dalam kalender hari-hari. Dan terutama bagi keduanya, berusahalah untuk lebih bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, karena tentunya semakin kita banyak menuntut ilmu, maka terkait sebuah persoalan kita akan menjadi semakin tahu. Sehingga janganlah sampai terjadi dalam kehidupan beragama kita, bahwa suatu amalan yang kita lakukan tidak memiliki landasan dan hanya didasari ikut-ikutan, karena itu yang biasanya menjadi awal dari hidup yang dipenuhi dengan kesesatan. Sekali-kali jangan.
Wallahu a’lam bishshowwab. [AF]

Maroji’:
- Argumentasi Salaf terhadap Perilaku Bid’ah, Abu Yusuf Abdurrahman Abdush Shomaad
- Kewajiban Mementingkan Sunnah Nabi, Abdussalam bin Barjas bin Nashir Abdul Karim
- Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimun, Hasan Al-Banna

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home