Lembar Dakwah LABBAIK

Friday, February 16, 2007

MEDIA MASSA DAN HEGEMONI BARAT



Kalau melihat sejarah perkembangan peradaban manusia, paling tidak kita akan menemukan tiga fase penting yang telah dan sedang berproses di dalamnya. Tiga fase tersebut adalah revolusi pertanian, revolusi industri serta revolusi komunikasi. Masing-masing fase memiliki peran di dalam meningkatkan derajat kemanusiaan khususnya di dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup serta dinamikanya. Sebagian besar teoretisi sosial berpendapat bahwa era revolusi sosial dan revolusi industri saat ini telah berakhir dan manusia sedang memasuki babak baru peradaban, yaitu era post-industrial yang ditandai dengan semakin meningkatnya arus informasi dan komunikasi, oleh karenanya fase ini dikenal juga dengan sebutan era revolusi komunikasi atau zaman informasi.

Zaman ini dimulai pada akhir abad ke-20, tepatnya antara tahun 1970-an dan tahun 1980-an. Pada kurun waktu tersebut manusia telah berhasil menemukan berbagai teknologi baru di bidang komunikasi dan informasi, terutama dengan ditemukannya kabel serat optik dan satelit komunikasi. Semenjak saat itu, terjadi perubahan yang sangat fundamental di dalam tatanan masyarakat dunia dengan memasuki era globalisasi baru, yang ditandai oleh dominasi tunggal Amerika Serikat di dalam tatanan global paska runtuhnya Uni Soviet setelah tidak kuasa menahan dahsyatnya hantaman zaman baru informasi.

Hancurnya Uni Soviet menandai kemenangan sebuah peradaban dalam hal ini adalah kemenangan kapitalisme liberalisme atas peradaban sosialis komunis. Sebagai peradaban yang keluar menjadi pemenang dalam sebuah pertarungan global, Amerika akan memiliki karakter konservatif (status quo), artinya dia akan mempertahankan dominasinya atas kekusasaan peradaban serta tidak akan membiarkan peradaban lain untuk merebut posisi tersebut. Oleh karena itu di dalam teori kekuasaan disebutkan, ada dua instrumen yang akan digunakan oleh pihak penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya, yaitu instrumen ideologi (halus) dan instrumen represif (paksaan/keras). Instrumen refresif bersifat militeristik, dengan menggunaan paksaan dan kekerasan secara fisik yang sudah menjadi ciri khas dari intrumen yang satu ini. penggunaan instrumen ini oleh Amerika bukan rahasia umum lagi, invasi Amerika ke Vietnam, Somalia, Irak, Afganistan dan campur tangan militernya di dalam perang Korea adalah bukti nyata represifitas Amerika di dalam mempertahankan dominasi peradabannya. Di sisi lain Amerika, juga menggunakan instrumen ideologi. Instrumen ini memiliki sifat halus dan sulit untuk dideteksi oleh kesadaran manusia karena wilayah kerjanya terdapat di dalam alam bawah sadar manusia, korban dari instrumen ini tidak akan merasakan kesakitan bahkan sebaliknya korbannya akan merasa senang dan menikmatinya.

Kekuatan instrumen ideologis semakin tak terbendung seiring dengan masuknya zaman informasi di dalam kancah peradaban manusia. Teknologi komunikasi dan informasi melipatgandakan kemampuan instrumen ideologi di dalam melakukan kontrol terhadap pola berfikir dan pola perilaku menusia untuk sesuai dengan tatanan global yang diciptakan oleh Barat. Maka muncul istilah imperialisme kultural atau penjajahan kebudayaan yang merupakan bentuk determinasi (pendiktean) Barat terhadap kultur masyarakat dunia.

Paling tidak terdapat dua jenis budaya di dalam masyarakat yaitu budaya populer dan budaya elit. Karena sifatnya yang memiliki basis masa mayoritas, budaya populer sering kali dijadikan alat bagi kepentingan-kepentingan ekonomi oleh kaum pemodal. Begitupun dominasi Barat atas budaya populer ini tidak bisa kita lepaskan dari kepentingan ekonomi. Barat berusaha untuk menggabungkan budaya populer, kepentingan ekonomi serta teknologi media yang mutakhir, sehingga menghasilkan sebuah kekuatan pasar yang memiliki daya jangkau yang sangat luas dan mampu menembus batas ruang dan waktu, bahkan batas psikologis sekalipun. Senada dengan itu, seorang pakar pemasaran, Hermawan Kertajaya mengatakan bahwa pasar yang saat ini berkembang adalah pasar emosi, artinya di dalam melakukan transasksi, konsumen tidak lagi menggunakan logika harga dan logika kebutuhan (murah atau mahal dan butuh atau tidak), tetapi lebih kepada penggunaan logika eksistensi diri (kemampuan sebuah barang dalam meningkatkan harkat dan martabat pemiliknya). Sehingga munculah sebuah ungkapan “I consume therefore I am (aku mengkonsumsi maka aku ada).

Konsumsi dalam konteks ini tidak lagi terkait dengan mengkonsumsi dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan semata, tetapi sudah melibatkan gaya hidup, simbol status dan prestise tertentu. Kondisi seperti ini akan melahirkan manusia-manusia konsumtif yang orientasi dan pandangan hidupnya adalah untuk mengkonsumsi. Konsumsi bagi manusia konsumtif adalah sebuah bentuk kesadaran yang menggerakan dan mengatur pola kehidupannya, yang menjadikan dia bagaikan manusia yang bergerak secara otomatis yang tidak tahu atau tidak mengerti dirinya sendiri. Satu-satunya yang dia tahu adalah barang yang akan dimilikinya, setiap obrolannya mengarah kepada barang yang ingin dimilikinya, lirikan matanya selalu ditujukan ke barang tersebut, bahkan keluh kesah, resah dan gelisahnya adalah untuk sebuah barang yang akan dimilikinya. Sungguh sangat ironis, dalam sebuah surat kabar diberitakan bahwa peminat terbesar sebuah hand phone (NOKIA comunicator 9500) yang harga per-unitnya mencapai tiga belas juta rupiah justru orang Indonesia yang sebagian masyarakatnya rela memakan roti buluk karena tidak lagi mampu membeli beras yang harganya melambung tinggi. Terbentuknya “kesadaran konsumtif” di dalam diri manusia tidak terlepas dari peran media masa.

Perlu kita ketahui bahwa kekuatan pasar yang dihasilkan oleh penggabungan antara budaya populer, kepentingan ekonomi dan teknologi media tidak menawarkan barang dan jasa semata. Kekuatan pasar juga menawarkan budaya dan gaya hidup alternatif yang bertentangan dengan kebudayaan dan gaya hidup masyarakat itu sendiri. Sehingga identitas budaya sebuah bangsa, suku, etnis dan agama serta kebuadayaan lain semakin berubah digantikan dengan identitas campuran yang plural dan tidak jelas.

Kondisi seperti ini sangat berbahaya, karena akan mengancam jati diri sebuah bangsa. Bagi bangsa Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim akan sangat membahayakan keber-Islaman mereka, sehingga tidak heran kalau saat ini banyak orang Islam yang justru menghambat perkembangan Islam di negeri ini. Indonesia adalah negara yang memiliki jumalah penduduk muslim terbesar di dunia tetapi berapa persenkah umat Islam Indonesia yang rela dan ridlo diatur oleh hukum Islam. Islam justru menjadi sesutu yang asing di tengah-tengah orang-orang yang mengaku Islam. Sehingga benarlah perkataan Umar bin Khattab “Hal pertama yang akan berlucutan dari umat ini adalah hukum dan yang terakhir adalah shalat”. Sekali lagi ini tidak bisa kita lepaskan dari pengaruh media masa.

Disamping budaya populer ada juga budaya elit. Barat berusaha untuk menggabungkan budaya elit dengan teknologi media, sehingga menghasilkan kekuatan konspirasi dan propaganda politik yang sangat berbahaya. Era komunikasi telah melahirkan sebuah tatanan global di semua wialayah kehidupan manusia, termasuk di wialayah politik dan konspirasi politik. Isu terorisme adalah contoh konspirasi di mana media berperan besar dalam mendefinisikan terorisme dan kemudian mendistribusikan definisi tersebut ke seluruh penjuru dunia yang menjadikannya sebagai isu berskala global.

Untuk mendukung keberhasilan sebuah konspirasi diperlukan adanya simulasi. J. Boudrilard (1981) mendefinisikan istilah simulasi sebagai penciptaan model-model kenyataan yang tanpa asal-usul dan realitas. Dengan kata lain, logika simulasi adalah logika pemelintiran makna untuk kepentingan politik atau golongan tertentu. Maka diciptakanlah event teror (bom Natal, bom Bali, bom Mariot, teror Poso dll.) serta diciptakan pula kausalitas teror (Jamaah Islamiyah, Komando Jihad, Gerakan Fundamentalis Islam, dll.), sehingga lahirlah sebuah realitas palsu yang tampak nyata, padahal realitas tersebut hanya sebuah rekayasa pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan tertentu pula. Simulasi dalam hal ini sangat bergantung pada politik citra dimana media sangat berperan dalam menciptakan realitas palsu di dalam masyarakat.

Anda mungkin pernah ingat sebuah adegan pemenggalan kepala Benjamin Vanderford, seorang sandera Amerika di Irak, oleh teroris Islam. Berita itu menjalar ke seluruh pelosok dunia, dikutip oleh koran dan televisi lokal. Maka dengan singkat terbentuklah citra Islam yang tidak manusiawi, Islam yang kejam, yang menjadikannya pantas mendapatkan sebuah julukan sebagai agama teror. Tetapi belakangan terbukti, ternyata film itu hanyalah rekayasa kamera belaka. Tidak ada pemenggalan dan tidak ada teroris Islam.

Oleh karena itu timbulah pertanyaan, benarkah kelompok Islam yang melakukan sejumlah aksi terorisme? Benarkah bom Natal itu dilakukan oleh Jamaah Islamiyah? Benarkah ada teroris Islam di Poso? Adakah Jamaah Islamiyah? Siapakah yang melakukan konspirasi, kelompok Islamkah atau siapa?

Untuk mengetahui siapa sebenarnya yang melakukan konspirasi dan siapa yang menjadi korban konspirasi, sederhananya kita harus mengetahui siapa yang dirugikan dan siapa yang diuntungkan dari konspirasi tersebut. Dalam setiap kasus terorisme yang belakangan ini santer diperbincangkan, sangat jelas siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugiakan. Umat Islam jelas tidak mengambil keuntungan sedikitpun dari sejumlah kasus peledakan bom (Natal, Legian, Mariot, Atrium Senen, dll.), bahkan sebaliknya. Lalu siapa yang diuntungkan dan siapa yang melakukan konspirasi itu? kiranya anda sudah sangat cerdas untuk menjawab pertanyaan ini!

Semua itu adalah rangkaian usaha dalam rangka mengamankan Universalisme Barat atas tatanan masyrakat dunia. Sehingga terbentuklah sebuah tata dunia baru di mana Barat berperan menjadi guru peradaban, bukan Islam atau siapapun.

Melihat begitu berpengaruhnya kekuatan media dalam membentuk sebuah opini publik dan dalam membentuk pola fikir manusia. Maka perlu ada sikap kritis dari umat Islam dalam menerima setiap informasi apapun dari media. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka perikasalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmy”.(QS. Al Hujurat 49: 6).
Wallahu a’lam bishshowab. [AA]

Kontrol Media Massa oleh Yahudi

“Kita akan menangani pers dengan cara sebagai berikut:
kita harus menungganginya dan mengendalikannya dengan ketat. Kita juga harus melakukan hal yang sama dengan barang cetakan, karena kita perlu melepaskan diri kita dari serangan-serangan pers, kalau kita tetap terbuka terhadap kecaman melalui pamflet dan buku-buku.
Tidak boleh satupun pernyataan sampai ke masyarakat di luar pengawasan kita. Kita telah mencapai hal itu pada saat ini sampai pada suatu tingkat dimana semua berita disalurkan melalui kantor-kantor berita yang kita kendalikan dari seluruh bagian dunia.
literatur dan jurnalisme merupakan dua kekuatan pendidikan yang sangat penting, dan karena itu pemerintah kita akan menjadi pemilik sebagian besar jurnal-jurnal yang ada. Kalau ada sepuluh jurnal swasta, maka kita harus memiliki tigapuluh jurnal milik kita sendiri, dan seterusnya. Hal ini tidak boleh sampai menimbulkan kecurigaan di dalam masyarakat, karena alasannya semua jurnal yang kita terbitkan akan diluar kecenderungan dan pendapat yang paling kontroversial, jadi kita membangun kepercayaan pada masyarakat dan menarik perhatian lawan-lawan kita yang tidak mencurigai kita, dan akan masuk perangkap kita dan membuat mereka tidak berbahaya.”

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home